Powered By Blogger

Pengikut

Minggu, 15 November 2009

China and India Launch Anti-Terrorism Military Exercise (The Jakarta Post 21 Desember 2007)

China and India Launch Anti-Terrorism Military Exercise
(The Jakarta Post 21 Desember 2007)

Kajian tentang terorisme kembali menarik perhatian dunia internasional setelah pada tanggal 11 September 2001 tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat di bajak, kedua diantaranya ditabrakan kemenara kembar Twin Towers World Trade Center (WTO) dan gedung Pertahanan Amerika Pentagon. Tragedy atau peristiwa ini dikenal masyarakat internasional sebagai tragedy 911. kejadian 911 ini pula telah menjadi start point masyarakat dunia yang dipimpin Amerika Serikat untuk mendeklarasikan perang global melawan terorisme.

Dewasa ini pemaknaan pengerian umum mengenai terorisme dapat merujuk pada pemaknaan dari Perserikatan Bangsa-Bangs(PBB):
Terrorism is an anxiety inspiring method of repeated violence action, employed by (semi) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby in contrast assassination the direct targets of attacks are not the main target. The immediate human victim of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity)or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat and violence based communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate main targets (audiences) turning into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought.
Kegiatan terorisme dapat menjadi bersekala internasional apabila:
• Diarahkan kepada warga negara asing atau target luar negeri.
• Dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah atau faksi lebih dari satu negara.
• Diarahkan untuk mempengaruhi kebijakan dari perintahan asing.

Setiap aksi terorisme memiliki motivasi yang berbeda–beda tergantung pada kondisinya masing-masing. Tindakan terorisme dapat didasarkan pada dua motif umum, yaitu objective driven act dan terror driven act. Objective driven act berkaitan dengan tindakan terorisme yang berdasarkan pada bebrapa permintaan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Cara yang biasa digunakan yakni melalui penyandaraan. Bentuk ini memberikan kesempatan pada pemerintah untuk bernegosiasi atau mengubah kebijakannya. Terror driven act didasarkan pada tindakan balas dendam atau digunakan juga sebagai peringatan atau ancaman kekerasan yang terjadi jika pemerintah tidak mengubah kebijakannya.

Motif lain yang dewasa ini sedang banyak terjadi adalah didasarkan pada isu etnis, agama, kesenjangan social-ekonomi, dan perbedan ideologi yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sedang bentuk-bentuk terorisme international dapat berupa :
• State-sponsored terrorisme, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai tujuannya.
• Privately-based terrorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu kelompok terorisme privat, seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiah dan sebagainya.

Pada dasarnya tindakan terorisme, dalam mentukan targetnya, memilih target-target yang potensial untuk menimbulkan kekuatan dan kekwatiran orang banyak. Sifat terorisme modern adalah siapa saja dapat menjadi korban. Tindakan terorisme ditujukan agar menarik perhatian banyak orang bahkan perhatian internasional dan menimbulkan reaksi dari mayarakat.


by: Eucharisto Irvin

DILEMA KEAMANAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT CINA SELATAN

I. Pendahuluan
Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional. Perubahan yang menciptakan transformasi pada sistem internasional ini menimbulkan harapan dan tantangan sekaligus baru. Salah satu tantangan baru yang mengundang banyak perhatian adalah mengenai konsep keamanan. Pengkajian masalah keamanan yang semula berpusat pada kekuatan militer dan penggunaannya dalam mencapai tujuan-tujuan politis, mendapat tantangan baru dalam mengatasi ancaman perubahan dimensi-dimensi keamanan. Kepentingan ekonomi negara, isu-isu baru seperti lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), keimigrasiaan, narkotika dan seterusnya, menjadi ancaman baru bagi kajian keamanan.
Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Seperti halnya dengan kebanyakan negara yang sedang berkembang, maka masalah keamanan diantara negara-negara ASEAN selalu menjadi fenomena dengan banyak aspek yang ditandai oleh saling ketergantungan yang kompleks antara hal-hal dalam negeri dan luar negeri. Pada saar era Perang Dingin, ASEAN yang memiliki salah satu tujuan untuk menciptakan tatanan regional yang mandiri, mengartikan kemandiriannya tersebut sebagai upaya untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik dengan negara-negara lain terutama negara adikuasa. Namun setelah Perang Dingin berakhir, tatanan regional yang diinginkan ASEAN, dan hubungan ASEAN dengan negara-negara besar dari luar kawasan tentu perlu ditinjau kembali.
Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN.
Tulisan berikut ini akan menggambarkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan menciptakan dilema keamanan diantara negara-negara di kawasaan Asia Pasifik dan bagaimana peran ASEAN sebagai peace maker tertantang optimalisasinya dalam menangani persolaan keamanan ini, mengingat posisi ASEAN menjadi tidak netral akibat terlibatnya beberapa negara anggota ASEAN dalam persengketaan Laut Cina Selatan.

II. Sejarah Konflik Laut Cina Selatan
Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Makau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC.
Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.
Di Laut Cina Selatan sendiri terdapat empat kelompok gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.
Mengenai penamaan Kepulauan di Laut Cina Selatan umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang, sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung layang-layang.
a. Latar Belakang Sengketa
Sengketa teritorial di kawasan laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Prancis, Jepang, RRC, Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan. Sengketa teritorial di kawasan laut Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut masalah penggunaan teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang menembus kedaulatan negara.
Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan, diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen Kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan, yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan Spartly adalah Cina, didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han (206-220 Sebelum Masehi). Namun Vietnam membantahnya, dan mengganggap Kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah Kedaulatannya. Vietnam menyebutkan Kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan sesuatu negara.
Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saar Perang Dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau di Kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan, Kepulauan spartly juga diduduki oleh Taiwan (sejak Perang Dunia II) dan Filipina (tahun 1971).
Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur kepulauan Spartly yang disebut sebagai Kelayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan ritu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun (kososng).Filipina juga menunjuk Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spartly, mengemukakan diserahkan kepada negara mana.
Malaysia juga menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly, yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia, Langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu laksamana diduduki oleh Filipina dan Amboyna diduduki Vetnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau.
Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap seluruh wilayah kepulauan bagian Selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini, negara yang aktif menduduki disekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Sementara RRC sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun 1988, secara agresif membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan militernya secara rutin di kepulauan tersebut.
Pada momentum yang bersamaan RRC melakukan pendekatan terhadap Filipina dan malaysia untuk mencari penyelesaian sengketa atas Kepulauan Spratly secara damai. Pada waktu itu beberapa negara yang mengklaim laut Cina Selatan telah sepakat untuk tidak menggunakan senjata sebagai alat penyelesaian sengketa. Akan tetapi RRC mengadakan pendekatan kepada kedua negara tersebut, RRC terus bersikeras memperkuat kehadirannya di kepulauan Spralty dengan meningkatkan sejumlah tentaranya di pulau kecil yang lain di kawasan Laut Cina Selatan.
Sikap dan tindakan RRC itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap serentetan protes yang dilakukan Vietnam dan seru-seruan agar diadakan perundingan-perundingan mengenai Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena RRC berusaha mengukuhkan kehadirannya di Laut Cina Selatan, secara de jure, dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992, dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya, sedang de facto, Cina telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut, serta melakukan modernisasi kekuatan pertahanan menuju ke arah tercapainya armada samudra.
Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.
b. Sengketa Bilateral (Bilateral Dispute)
Pada perkembangannya perebuatan wilayah seputar Laut Cina Selatan semakin memanas, dan konflik-konflik bilateral tidak dapat dihindarkan. Sengeketa Bilateral ini tidak dapat dianggap sepele, karena pada akhirnya akan menimbulkan ketegangan bagi negara-negara sekitarnya. Sengketa antara RRC dan Vietnam misalnya. Sengketa dua negara ini dianggap yang paling lama dan keras, bahkan pernah berubah menjadi bentrokan senjata, pada tahun 1974 di Paracel. Konflik RRC-Vietnam ini juga dilatarbelakangi persaingan strategis, baik dalam konteks Timur-Barat dalam kasus RRC-Vietnam Selatan, mapun dalam konteks persaingan regional, dalam kasus Vietnam (setelah bersatu) – RRC. Sengketa antara dua negara dini diperuncing dengan konflik teritorial mereka di wilayah lain.Konflik Malaysia-Filipina, berawal pada tahun 1979 ketika Malaysia menerbitkan Peta Baru dimana Landas Kontinennya mencakup wilayah dasar laut dan gugusan karang di bagian selatan Laut Cina Selatan yang kemudian memicu timbulnya konflik kedua negara tersebut. Dalam konteks ASEAN, konflik Malaysia-Filipina mengalami hubungan pasang-surut, dan beberapa kali terjadi insiden yang menaikkan suhu politik dua negara. Konflik semakin memanas pada saat adanya usulan dari sejumlah politikus dan oposisi Filipina untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia. Konflik bilateral juga terjadi pada negara Filipina dan Taiwan. Klaim dan kontra antara Filipina-Taiwan juga memperlihatkan situasi yang cukup rawan. Di Kepulauan Kalayan misalnya ternyata mengalami tumpang tindih diantara mereka. Wilayah yang paling dipertentangkan adalah Pulau Itu Abaa, yang oleh Filipina disebut Pulau Ligaw. Pada tahun 1988 Angkatan laut Filipina menahan 4 buah kapal nelayan Taiwan yang dituduh telah memasuki wilayah perairan Filipina di Kalayaan.
Selain konflik Filipina-Taiwan, filipina juga telah menghadapi beberapa kali pertentangan yang sengit dengan RRC yang berlangsung sejak tahun 1950-an. Hal ini bermula ketika sejumlah kalangan di Filipina mulai menunjukkan perhatiannya terhadap Spratly. Sementara itu media di RRC kerapkali mengeluarkan artikel dan peringatan yang menegaskan kedaulatan RRC atas Spratly.
Pada dasarnya sengketa Filipina-RRC di Spratly relatif lebih tenang dibandingkan misalnya, sengketa Vietnam-RRC. Walaupun RRC menentang pertanyaannya klain Filipina mulai melancarkan aksi pendudukan terhadap sejumlah pulau dan gugusan karang di Kalayaan. Hal ini nampaknya merupakan dampak dari usaha RRC untuk memperbaiki kedudukan geopolitisnya di Asia Pasifik dengan “open door policy” nya dalam menjalin hubungan dengan negara-negara kawasan.
Namun dalam perkembangan terakhir, sengketa Filipina-RRC meningkat dengan adanya berita bahwa RRC telah menempatkan kapal perang dan membangun fasilitas baru di gugusan karang yang diklaim Filipina. Peselisihan dua negara ini semakin sukit dihindari pada 1995, ketika terjadi insiden di kawasan itu dimana militer filipina membongkar bangunan Cina di Spratly. Pada saat yang bersamaan, Angkatan laut Filipina menangkap nelayan Cina sehingga hubungan Cina-Filipina semakin menegang.
Selanjutnya adalah sengketa antara Malaysia-Vietnam. Sebagai seseama anggota ASEAN, Malaysia dan Vietnam kerapkali berbenturan karena persoalaan pendudukan Vietnam terhadap beberapa wilayah Malaysia termasuk Terumbu layang-Layang. Secara fisik wilayah tersebut dikuasai oleh Vietnam. Sebaliknya pada tahun 1977 Malaysia menerbitkan peta baru.
Lain halnya dengan sengketa Filipina-Vietnam di Spratly dimana terfokus pada cakupan 4 pulau atau gugusan karang yang kini dikuasai Vietnam yaitu (Southwest Cay) dalam bahasa tagalog adalah Pugad, Sin Cowe, Nam Yit, dab Sand Cay. Filipina menganggap keempat pulau itu sebagai bagian dari Kalayaan, yang diduduki secara tidak sah oleh Vietnam. Pada November 1999, terjadi ketegangan yang lebih besar antara dua negara ini, setelah pesawat pengintai filipina ditembak pasikan Vietnam. Pesawat Filipina berkali-kali terbang diatas sejumlah pulau disemenanjung Spratly.
Sementara itu Brunei yang merupakan satu-satunya pihak yang tidak mengklaim pulau Laut Cina Selatan, termasuk Spratly tetap saja mengalami konflik dengan Malaysia. Yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan Laut Cina Selatan yang sewaktu pasang berada di bawah permukaan laut
Brunei mengklaim gugusan karang itu dan juga landas kontinen di sekitarnya. Sementara Malaysia pada 1979 mengklaim gugusan karang tersebut dan mendudukinya serta telah membangun mercusuar diatas gugusan karang tersebut. Sengketa antara kedua negara ini relatif tenang. Meskipun gugusan karang ini sebenarnya merupakan konflik multilateral, karena diklaim pula oleh RRC, Vietnam dan Taiwan.
Konflik bilateral lainnya adalah antara Taiwan-RRC. Jika dilihat secara historis dari sisi politik teritorialnya, sesungguhnya tidak terdapat sengketa wilayah karena klaim RRC di Laut Cina Selatan sama dengan klain Taiwan. Terakhir adalah sengketa antara Indonesia-RRC yang tersangkut sengketa bilateral dalam masalah landas Kontinen dan ZEE sebagaimana sidefinisikan dalam konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Meskipun Indonesia bukan merupakan penuntut atas kepulauan atau bantuan di gugusan Spratly, akan tetapi Indonesia memiliki fakta sengketa bilateral dengan RRC. Sengketa ini tidak begitu menonjol ketimbang sengketa oleh enam negara lainnya dilaut Cina Selatan. Selain itu, RRC juga pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam. Laut Natuna sangat vital bagi RRC karena kawasan itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi di Utara –Selatan, dan Timur-Barat. Begitu pula RRC sudah melakukan kontrak eksplorasi minyak dengan Amerika Serikat di sekitar Pulau Hainan (sebelah utara Natura).
c. Sengketa Antar Negara (Multiple Dispute)
Masalah sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek “national interest” masing-masing negara dalam mewujudjan keinginan mempertahankan wilayah pengaruh/hegemoni serta jaminan akan keselamatan pelayaran sebagai akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di kawasan Laut Cina Selatan. Klain teritorial tumpang tindih atas Laut Cina Selatan sesungguhnya bukanlah masalah baru. Secara tradisional, Cina termasuk Taiwan dan Vietnam telah menegaskan pemilikan mereka atas keseluruhan gugusan kepulauan Spratly dan sumberdaya yang ada di kawasan itu.
Pada perkembangan selanjutnya Filipina dan Malaysia juga mengklaim sebagian pulau di kawasan Spratly, sedangkan Brunei Darussalam mengklaim Louise Reef, gugusan karang yang terletak di luar gugus Spratly. Dalam masalah klaim multilateral, seringkali masalah klaim RRC, Taiwan dan Vietnam dibahas menjadi satu karena erat kaitannya dengan satu dengan lainnya, akibat perkembangan sejarah, misalnya antara RRC dan Taiwan, Vietnam Selatan, Vietnam Utara dan Vietnam setelah unifikasi.
Cina sebenarnya merupakan satu-satunya negara sampai Perang Dunia I yang mengklaim kedaulatan sepenuhnya atas seluruh Kepulauan Spratly, dengan mendasarkan klaimnya atas penemuan pertama. Masalah kedaulatan menjadi masalah yang sensitif anatara Prancis, Inggris dan Jepang pada akhir abad 19, padahal pada tahun 1876 Cina telah menyatakan bahwa kepulauan Spratly merupakan miliknya.
Saling Klaim juga dilakukan beberapa negara lainnya, antara lain; Taiwan mengklaim dan menduduki kembali (1956) kelompok kepulauan ini dengan menempatkan satu garnisiun berkekuatan 600 tentara secara permanen di pulau terbesar, yaitu Itu Aba (Taiping dalam bahasa Cina), serta membangun landasan pesawat dan instalasi militer lainnya; Vietnam Selatan kembali menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dan Paracel (1951) dalam konfrensi Sanfrancisco. Bahkan setelah unifikasi, Vietnam menegaskan kembali tuntutannya atas kedua kepulauan tersebut pada berbagai kesempatan, dan vietnam secara teratur mengadakan patroli di sekitar Paracel.
Berbeda dengan ketiga negara sebelumnya, Filipina tidak mengklaim seluruh kepulauan Spratly dan tidak juga didasarkan atas alasan sejarah. Filipina pertama menyatakan klaimnya apada tahun 1946 di Majelis Umum PBB dan diulang lagi (1950) ketika Taiwan menarik pasukannya. Meskipun Filipina lebih belakangan menyatakan klaimnya atas gugusan Spratly, namun negara ini telah awal melakukan pendudukan militer, membuat landasan terbang dan menempatkan militer di kepulauan itu. Enam pulau yang diduduki Filipina merupakan pulau-pulau terbesar di kepulauan itu.
Sementara itu Malaysia baru kembali mengklaim (1979) atas 11 pulau karang di bagian Tenggara Kepulauan Spratly berdasarka pemetaan yang dilakukannya. Dan pada tahun 1983 melakukan survey dan menyatakan kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Dan Brunei Darussalam adalah yang terakhir menyatakan klaimnya atas sebagian kawasan Spratly. Klaim Brunei hampir serupa dangan Malaysia karena didasarkan pada doktrin Landas Kontinental, akan tetapi garis-garis batas ditarik secara tegak lurus dari dua titik ekstrem di garis pantai Brunei darussalam.

III. Konflik Bersenjata dan Militerisasi di Laut Cina Selatan
Konflik bersenjata di Paracel dan Spratly dipertajam dengan adanya klaim yang dipertegas melalui aksi pendudukan militer oleh sejumlah negara yang terlibat di dalamnya. Namun sistuasi konflik di kawasan itu selama tahun 1950-an hingga 1970-an relatif tenang. Ketenangan itu lebih disebabkan adanya sengketa yang lebih mendesak dikawasan itu, seperti berlangsungnya perang di Indocina.
Konflik senjata pertama kali terjadi di wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahunm 1988, dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina-Vietnam di Indocina. Konflik senjata yang kedua antara Cina-Vietnam ini mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi Cina di Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Pertama, penegasan kembali klaim-klain Cina dan Vietnam atas kepulauan Paracel dan Spratly, kedua, meningkatnya militerisasi Cina, Vietnam, dan negara-negara pengklaim lainnya.
Terjadinya bentrokan militer antara Cina dan Vietnam pada pada Maret 1988 tersebutlah yang menjadi pendorong utama militerisasi Laut Cina Selatan dalam upaya menegaskan dan mengamankan kawasan tersebut, Sampai saat ini kecuali Brunei, masing-masing pihak telah menentukan “land base” diantara gugusan pulau-pulau Spratly, sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa pola yang jelas. Beberapa posisi pendudukan Cina bahkan cukup jauh ke Selatan.
Hakikat dari berbagai klaim ini sangat jelas, yaitu mencari sumberdaya, berupa minyak dan gas, dapat diperkirakan sangat berlimpah di kawasan tersebut. Upaya-upaya eksplorasi terus berlanjut dan eksploitasi sumberdaya perikanan juga berlangsung.
Taiwan menduduki pulau terbesar dari kelompok spratly, Itu Aba sejak tahun 1956, dan menempatkan 600 tentara di pulau tersebut. Situasi mulai berubah sejak Cina mempercepat program modernisasi Angkatan Laut dan meningkatkan kehadiran militernya di kepulauan tersebut. Cina mulai mengirimkan pasukannya sejak tahun 1973 dan terus membentengi posisi mereka di Paracel dan gugusan Spratly.
Vietnam selatan menggunakan kemampuan militer atas klaimnya sejak tahun 1969 ketika negara itu mengirimkan pasukan ke Kepulauan Paracel. Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Spratly tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau kelompok Kepulauan Spratly. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Filipina merupakan negara pertama yang menggunakan kekuatan militer untuk menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1968 Filipina menempatkan Marinir pada sembilan pulau.
Malaysia merupakan negara terakhir yang menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan pulau dari kelompok Kepulauan Spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang-layang.
Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan pasukannya di wilayah Spratly. Dalam kenyataannya Louisa Reef yang telah diklaimnya bahkan telah diambil alih oleh Malaysia.
Secara umum, negara negara pantai di Laut Cina selatan telah membangun kekuatan militer dalam beberapa waktu belakangan ini. Cina, misalnya kini sedang membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, berencana membeli dua kapal induk, dan membangun pangkalan udara militer yang dilengkapi radar canggih di Pulau Woody, kelompok Kepulauan Paracel. Pangkalan ini, bila telah selesai, memungkinkan Cina memberikan perlindungan udara terhadap Kepulauan Spratly. Selain itu, negara-negara lainnya juga meningkatkan kemampuan Angkatan Lautnya untuk menjaga klaim dan pendudukannya. Akhir-akhir ini di kawasan Kepulauan Spratly, Cina membangun pangkalan dan instalasi militer di Pulau Karang Mischief sejak 1995 dan diperluas pada 1998. Menurut Beijing, bangunan itu hanyalah tempat pemukiman para nelayan nama Mischief sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti Meiji (wilayah Cina).

IV. Konsep Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN
Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional.
Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang diharapkan.
Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.
Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.
Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan.
Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

V. Signifikansi Konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN
Laut Cina Selatan merupakan salah satu komoditas politik internasional dalam kerangka politik kekuatan bagi setiap negara yang berusaha meningkatkan posisi kekuatannya terhadap negara-negara saingannya, sehingga negara-negara tersebut berusaha mempertahankan hegemoni-nya untuk merebut pengaruh di kawasan agar tetap dapat memanfaatkan potensi yang ada di sepanjang tepian “pasifik”.
Dengan berakhirnya perang dingin, berubahnya sistem internasional menjadi multipolar, menciptakan kesulitan-kesulitan baru dalam menghadapi kekuatan dan ancaman luar yang semakin sulit ditebak. ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik.
Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut: Pertama, Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
Kedua, Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis. Sehingga kawasan ini sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional. Ketiga, adalah masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, besarnya potensi konflik yang ada di kawasan laut Cina Selatan, dan pengaruhnya yang juga besar terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara, memaksa ASEAN untuk berfikir lebih serius menjaga segala kemungkinan gangguan keamanan yang datang. Konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.

a. ASEAN dalam Pengelolaan Konflik Laut Cina Selatan
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik Laut Cina Selatan menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara damai oleh semua pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya menghindari potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan perundingan secara damai baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan internasional.
Pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan krisis-krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan ketahanan Regional secara kolektif.
Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
Upaya-upaya perundingan untuk memecahkan permasalahan secara multilateral untuk terciptanya stabilitas di kawasan banyak mendapat dukungan negara-negara pengklaim yang semuanya adalah negara negara anggota ASEAN, kecuali Taiwan. Hal ini beralasan mengingat melalui perundingan regional atau multilateral, setidaknya dapat membantu semua negara pengklaim di kawasan itu untuk memilih peluang dan posisi yang sama dalam mempertahankan klaim dan pendudukannya terutama dalam menghadapi tuntutan Cina. Sebaliknya Cina lebih memilih perundingan secara bilateral dengan masing-masing negara sengketa, karena dengan cara ini Cina dapat lebih mudah menekan setiap negara daripada menghadapinya.
Belakangan ini memang ASEAN menghadapi tantangan untuk meningkatkan dan mempertahankan kawasannya yang damai dengan terus berlarut-larutnya sengketa antar engara kawasan laut Cina Selatan tersebut. Adanya konflik ini akan membawa dampak tidak saja terhadap kerjasama ekonomi ASEAN yang selama ini telah membawa hasil yang maksimal, tetapi juga terhadap kelangsungan ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi kepentingan nasional masing-masing anggotanya..
Oleh karena itu, satu hal yang paling penting digarisbawahi dari eksistensi ASEAN adalah pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Sejak ASEAN didirikan ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:

 Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
 Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
 Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994
KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).

b. Instrumen Mencegah Konflik Laut Cina Selatan.
Konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan pengejawantahan dari sikap ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima keterlibatan yang terlalu jauh dari negara-negara besar wilayah Asia Tenggara. ASEAN mengusahakan pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan luar seraya memperluas kerjasama antar negara se-kawan sebagai persyarat bagi memperkuat kesetiakawanan dan keakraban semua negara yang ada di kawasan.
Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah;

 bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh “mengganggu” kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa”;
 bahwa setiap negara harus dapat “melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan luar”;
 bahwa tidak ada campur tangan “mengenai wawasan dalam negeri satu sama lain”;
 bahwa setiap “perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai”
 dan bahwa “setiap pengancaman dengan kekerasan” tidak dapat diterima.

Sementara untuk menunjang ZOPFAN dan dalam upaya mencairkan kebekuan hubungan bilateral karena adanya perbedaan-perbedaan mulai terlihat saat dikeluarkannya dekalrasi perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation-TAC). Perjanjian ini ditandatangani pada KTT I ASEAN di Bali tahun 1976. Inti perjanjiannya adalah bagaimana menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan persengketaan intra ASEAN. Perjanjian ini merupakan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi negara-negara ASEAN dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan bilateral anggota ASEAN.
TAC pada dasarnya merupakan hasil dari transformasi prinsip-prinsip dan aspirasi ASEAN dalam deklarasi Bangkok dan ZOPFAN ke dalam suatu bentuk perjanjian (treaty) internasional yang mengikat dan menjadikannya sebagai code of conduct dalam interaksi intra-ASEAN. Didalam perkembangannya TAC telah dijabarkan dan diperluas perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan sengketa secara damai atau paling tidak dapat berfungsi sebagai pencegah konflik sebagaimana dipertegas dalam perjanjian TAC bab IV, mengenai prinsip-prinsip penyelesaian secara damai (the pasific settlement of disputes).
Berkaitan dengan potensi Konflik Laut Cina Selatan, maka prinsip-prinsip TAC dapat diberlakukan dalam pengelolahannya. Hal ini berdasarkan Deklarasi Prinsip-prinsip Laut Cina Selatan, yang mendesak semua pihak guna “memerapkan prinsip-prinsip yang termaktub dalam TAC sebagai dasar untuk merumuskan code of international conduct di Laut Cina Selatan. Sedangkan SEA-NWFZ merupakan langkah kedua setelah TAC dalam perwujudan ZOPFAN. Pada KTT IV di Singapura telah mengikrarkan bahwa SEA-NWFZ terus diusahakan, mengingat adanya upaya beberapa negara besar yang ada di kawasan maupun di luar kawasan tetap mengembangkan nuklirnya sebagai bukti kapabilitas pertahanannya.
Baik konsep ZOPFAN, NWFZ maupun TAC pada prinsipnya adalah “zooning arrangement” yang merupakan instrumen dasar konsep keamanan ASEAN yang juga dapat bertindak sebagai instrumen pembangunan kepercayaan di Asia Pasifik khususnya dalam mencegah Konflik di Laut Cina Selatan. Program ZOPFAN mempunyai unsur-unsur utama yang menjadi perangkat dalam mencegah konflik di kawasan, antara lain:
1) Memperkuat jaringan kerjasama bilateral dan trilateral antara negara-negara Asia Tenggara,
2) Pengembangan suatu code of conduct yang mengikat negara-negara di Asia Tenggara dan negara-negara disekitarnya,
3) Pengembangan cetak biru politik-keamanan untuk memungkinkan negara-negara sahabat membantu dalam membangun perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di Asia Tenggara, serta
4) Mengembangkan suatu kerangka untuk bekerja dengan Piagam PBB dalam menciptakan, melanggengkan, dan membangun perdamaian.
Seperti diketahui fenomena politik dan keamanan atas kawasan Laut Cina Selatan selama beberapa dekade belakangan ini tampak jelas langsung dippengaruhi oleh inkonsistensi dan ketidakpastian dalam prilaku politik luar negeri RRC. Karena Cina memandang masalah kedaulatan nasional dan integritas wilayah sebagai masalah yang sangat penting untuk diperjuangkan, maka besar kemungkinan upaya untuk mencari penyelesaian secara damai konflik ini akan berjalan secara lambat, karena itu Konflik Laut Cina selatan akan memungkinkan menjadi konflik berkepanjangan di kawasan Asia Pasifik.
Dalam upaya mencegah konflik dan menciptakan tingkat kepastian tertentu di kawasan, maka setidaknya prilaku setiap pihak yang bertikai dapat menghormati aturan-aturan dan kesepakatan regional yang telah mendapat pengakuan internasional. Adanya traktat ataupun perjanjian regional yang telah dilahirkan ASEAN diharapkan dapat menjadi instrumen manajeman konflik, khususnya dalam menghadapi sikap dan respon Cina terhadap prakarsa-prakarsa negara-negara ASEAN dalam menciptakan tata hubungan politik dan keamanan yang lebih predictable di kawasan Laut Cina Selatan. Dalam melakukan pencegahan konflik di kawasan, segenap negara kawasan Asia Tenggara dapat menempuh cara dua tahap:
Secara internal dalam tingkat subregional ASEAN senantiasa konsisten dengan komitmennya tentang perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan yang kebetulan beberapa anggota ASEAN lainnya terlibat dalam konflik di Laut Cina Selatan; Secara eksternal ASEAn senantia mengambilkan langkah-langkah untuk menangani masalah Laut Cina Selatan khususnya pada tingkat regional atau multilateral. Misalnya, ASEAN mencoba membujuk Cina untuk menghormati code of conduct ASEAN seperti Zone Of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) dan Treaty of Amity and Coorporation (TAC), sebagai nilai, norma dan prinsip-prinsip yang harus menjadi acuan hubungan antar negara di kawasan utamanya dalam mewujudkan ‘the Pasific settlement of disputes”.

c. Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Mengatasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan.
ASEAN Regional Forum (ARF) adalah forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka. Salah satu tujuannya adalah menciptakan lingkungan keamanan yang lebih luas sehingga wilayah ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri.
ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik. Implikasi tersebut mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Dari sini kemudian muncul pemikiran tentang regionalisasi masalah keamanan. Negara-negara ASEAN dan negara-negara besar di kawasan mempunyai alasan yangrasional mengapa pendekatan baru diperlukan.
Negara-negara di kawasn tidak bisa lagi mengeksploitasi persaingan negara adidaya, memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia, untuk kepentingan keamanan di kawasan. Sementara itu bagi negara-negara besar, runtuhnya Uni Soviet dan sistem bipolar menyebabkan nilai strategis negara-negara di kawasan menjadi berkurang. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.

KESIMPULAN
Berakhirnya Perang Dingin telah melahirkan sistem internasional yang multipolar. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Perkembangan isu dan kajian keamanan yang cepat, memaksa ASEAN untuk lebih serius memperhatikan permasalahan yang datang dari manapun dan berhati-hati menghadapi setiap konflik yang mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Konflik Laut Cina Selatan yang juga melibatkan langsung beberapa negara anggota ASEAN, menjadi prioritas perhatian ASEAN dalam bidang politik-keamanan terutama pasca perang dingin. Dilihat dari sudut pandang geopolitik, Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tinggi dimana banyak negara berlomba dan mengklaim wilayah tersebut. Kerawanan kawasan ini menciptakan dilema keamanan yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan ASEAN.
Pesoalaannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap hal/kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam persolaan wilayah/kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan regionalnya.
Yang terpenting adalah selama ASEAN dapat konsisten terhadap dalam menjaga komitmennya untuk ikut serta menjaga, menciptakan stabilitas keamanan regional dan global, serta mengedepankan strategi keamanan yang kooperatif dengan upaya-upaya damai dalam mengelola pesoalan-persoalan khususnya dalam kasus Laut Cina Selatan, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara dapat terus dirasakan bahkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.

BIBLIOGRAFI
1. Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names Given to the Spartly), Asian Defence Journal, 1995.
2. Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik,
3. “The law of People’s Republic of China on It’s Territorial Waters and Contiguous Areas”, 25 Febuari 1992.
4. Kompas, “Militer Filipina Bongkar Bangunan Cina di Spratly”, Jakarta, 24 Maret 1995.
5. Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik”, PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL: Jakarta, 2001
6. Hasan Habib, “Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional”, Jakarta: CSIS. 1996.
7. “The Joint Communique of ASEAN Foreign Minister”, Brunei: Agustus, 1995.

Selasa, 29 September 2009

KASUS AMBALAT

Belakangan ini, perpolitikan Indonesia kembali "dimeriahkan" dengan perdebatan sikap tentang langkah yang perlu diambil terhadap negara asing, khususnya Malaysia. Hal itu disebabkan beberapa kapal perang asing, termasuk Malaysia berulang kali memasuki wilayah Indonesia seperti perairan Nunukan dan Pulau Ambalat, Kalimantan Timur serta sekitar Pulau Nipah, Kepulauan Riau (Kepri).
Permasalahan ini sudah terjadi sejak tahun 2005. Malaysia mengklaim secara sepihak atas wialyah peaiaran Ambalat yang disinyalir terdapat sumber daya alam berupa minyak bumi. Hal ini sudah diteliti oleh pihak Malaysia yang sudah mengadakan kerjasama atas pihak perusahaan asing yaitu Shell sebagai pihak yang mengeksplorasi daerah tersebut. Akan tetapi, hal itu di protes oleh pihak Indonesia, bahwa wilayah Ambalat adalah bagian dari wilayah Indonesia.
Masalah itu pun terus berlangsung hingga bulan Mei tahun 2009 yang belum bisa di selesaikan oleh kedua belah pihak. Kapal perang Malaysia yang sedang berpatroli di sekitar perbatasan dengan sengaja masuk ke perairan Indonesia yaitu Ambalat. Hal ini menimbulkan ketegangan diantara kedua belah pihak dan juga timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas) .
Hal ini sering terjadi di negara yang memiliki wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut.
Kalau kita lihat pada undang-undang negara kita, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Hal ini telah disebutkan pada Deklarasi Juanda tahun 1957 lalu diikuti oleh UU Prp No. 4/1960 tentang perairan Indonesia. Dilanjutkan pada perjuangan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja yang mengajukan konsep negara kepulauan ini ke Konferensi Hukum Laut PBB III . Sehingga dalam “The United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS), 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita . Akan tetapi hal ini tidak dapat digunakan oleh beberapa diplomat yang menjadi delegasi untuk perundingan sengketa Ambalat. Ini semua merupakan bukti yang kuat untuk menjadikan senjata memenangkan permasalahan Ambalat. Walaupun dalam UU No 6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia.
Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan . Ini merupakan suatu kekalahan diplomasi Indonesia pada kasus Sipadan dan Ligitan.
Ambalat jelas merupakan bagian dari Indonesia karena terletak didaerah bagian selatan Laut Sulawesi .Oleh karena itu, Indonesia perlu menentukan garis pangkal batas wilayahnya begitu juga dengan Malaysia. Hal ini harus dirundingkan oleh kedua negara dengan berlandaskan pada prinsip equitable solution yang sudah digariskan pada UNCLOS 1982 untuk menyelesaikan masalah Ambalat dan garis pangkal kedua negara.

Jumat, 25 September 2009

posmodernisme

POSMODERNISME

Jika kita baru pertama kali berhadapan dengan pemikiran posmodern akan menemui kesulitan. Pertama, istilah posmodernitas menciptakan beberapa kebingungan. Posmodernitas sering diartikan keliru dengan mengacu kepada suatu periode sejarah tertentu yang menggantikan modernitas. Kesalahpahaman ini ditambah lagi oleh fakta bahwa banyak pemikir postmodern pada umumnya memusatkan perhatian pada karakteristik masyarakat zaman modern akhir atau pos-industri. Kedua, posmodernisme sangatlah berbeda dan menentang atau menumbangkan banyak ide besar dalam teori Hubungan Internasional. Sehubungan hal tersebut, kesulitan yang ketiga terdapat dalam kompleksitas yang terkandung dalam karya posmodernisme. Kita perlu memiliki pemahaman yang cukup mutakhir tentang lembaga-lembaga politik, bentuk-bentuk organisasi social, dan praktik-praktik social yang identik dengan modernitas serta dasar filosofis pemikiran social dan politik modern guna memahami sepenuhnya kritik-kirtik postmodern terhadap HI. Terakhir, masalah definisi. Apa itu postmodern? Apakah posmodernisme sama seperti teori kritis? Apakah posmodernisme bersinonim dengan pos strukuralisme? Apa para sarjana posmodernisme mempunyai pendekatan tersendiri pada study mengenai perpolitikan dunia? Masalahnya adalah bahwa definisi yang sederhana tentang posmoderisme amatlah tidak mungkin.
Suatu langkah awal yang baik untuk memahami asal mula posmodernisme adalah gelombang radikalisme politik yang melanda dunia barat pada akhir 1960-an. Seperti halnya Teori Kritis, pos-Marxis yang lahir dari politik kiri baru (New Left), maka asala mula posmodernisme bisa dilihat dengan mengindentifikasi serangkaian kelompok yan tersingkir, seperti para mahasiswa aktifis, kelompok feminis, environmentalis, liberasionalis gay. Meski membela radikalisme politik, beberapa orang dikalangan Kiri tidak puas dengan terus berlanjutnya penekanan terhadap pentingnya kelas social dalam pergerakan politik Sayap Kiri. Mereka percaya bahwa penekanan ini mengesampingkan isu-isu lain, seperti diskriminasi ras atau gender. Selama periode akhir 1960-an kelompok feminis memusatkan perhatian pada represi hubungan social yang sebelumnya dianggap sebagai wilayah ‘pribadi’. Periode ini juga merupakan masa perjuangan para nasionalis menentang dominasi penjajahan dan liberalis, bersama beberapa masyarakat di beberapa bagian Asia, Amerika Latin, dan Afrika menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri atas nama ‘rakyat’, sementara kelompok-kelompok minoritas di negara-negara barat melaporkan penderitaan atas berbagai bentuk diskriminasi maupun ekslusi yang mereka alami dari masyarakat mayoritas.
Terlebih lagi, terdapat bahaya-bahaya yang sangat nyata dalam usaha untuk memahami politik feminisme, misalnya, atau gerakan-gerakan social baru, seperti pemerhati lingkungan, melalui kaca mata kelas ata perjuangan kelas. Politik oposisi atau radikal banyak sekali memasukkan berbagai bentuk perjuangan baru atas prakatik-praktik dominasi dan ekslusi. Pengalaman tentang persekusi-persekusi dan kekerasan politik yang menyebar luas di Uni Sovyet telah menghasilkan skeptisisme terhadap janji Marxisme telah menunjukkan perpecahan dan karakteristik kapitalisme eksploitatif serta menawarakan sebuah visi tentang masyarakat sosialis sebagai suatu ‘obat’ bagi penyakit-penyakit kontemporer. Beberapa orang Sayap Kiri mulai berpendapat bahwa dalam usaha mereka untuk menghasilkan dorongan bagi tersebar luasnya perubahan social, para pemikir Marxis telah ‘menguniversalkan’ kondisi-kondisi emansipasi manusia, dengan harga memarjinalkan dan membungkam sejumlah besar kelompok dan masyarakat.
Setelah secara luas membahas di spectrum politik sisi ‘Kiri’, kita harus menyadari bahwa posmodernisme telah dijelaskan sebagai pemikiran yang sangat konservatif. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kritik terhadap posmodernisme sering kali tidak beralasan. Bagaimanapun, bukanlah hal yang mudah untuk memahami posmodernisme dalam kerangka dikotomi yang sederhana, seperti kiri/kanan, radikal/konservatif. Inilah kesulitan lain yang layak dirundingkan oleh para mahasiswa.
Akhirnya, setelah memahami bahwa kaum posmodernisme mengungkapkan semacam keraguan terhadap ‘metanaratif’, seperti Marxism-dengan kata lain, bahwa para pemikir postmodern punya kesulitan untuk mempercayai semua teori atau penjelasan yang mencakup semua (all-encompassing), maka hal yang akan mengejutkan adalah jika kita menemukan kaum posmodernist yang mendukungb sebuah perspektif mengenai dunia yang terkesan komprehensif dan koheren atau visi besar (grand vision) mengenai Hubungan Internasional. Kaum posmodernis justru lebih cenderung terlibat dalam sebuah kritik terhadap proyek-proyek penyusun persepektif atas Hubungan Internasional dan lebih konsentrasi pada suatu yang terkesan lain, unik, dan tampaknya menatang bentuk-bentuk penteorian tyang tampakterlalu sempurna. Disisi lain, kaum posmodernis menyambut baik banyak munculnya sebagai perspektif dan pendekatan dalam HI selama dua decade terakhir. Jauh dari memandang hal ini sebagai sebua perkembangan yang melemahakan HI sebagai suatu ‘disiplin’ yang terpisah, para kaum posmodernis bependapat bahwa skeptisisme dan keidak pastian ditambahkan dengan pluralitas, pandanagan, visi-visi, dan pendapat mengenai dunia merupakan suatu tanggapan yang memang sepantasnya bagi dunia yang sangat komlplek.
Hal ini tidaklah berarti bahwa para sarjana postmodern dengan mudah menolak segala sesuatu sebagai bias, aneh, atu sebuah cerminan dari sebuah perspektif orang-orang berpengaruh. Kaum posmodernis juga bukan merupakan orang-orang yang sinis atau nihilis. Mereka tidak beda dari dengan orang pad umumnya, dalam arti bahwa mereka mempunyai nilai-nilai tertentu dan mungkin saja mendukung kode etika atau moral tertentu. Meski demikian, kaum posmodernis berbeda dengan dari kaum liberal atau para pemikir kritis karena kaum postmodern lebih cenderung mengakui bahwa pada dasarnya tidak mungkin ada landasan yang kukuh atau sumber argumen yang paling mutakhir apapun, yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan ‘kebenaran’ (rightness) atau ‘kesalahan’ (wrongness) system-sistem nilai, kepercayaan-kepercayaan atau pandangan-pandangan dunia tertentu. Mereka tidak pernah mengaku mempunyai suatu pemahaman untuk ditawarkan mengenai ‘kebenaran’ akan kondisi manusia atau nilai kebajikan dan keburukan yang terkandung dalam tindakan atau kejadian tertentu.
Bagaimanapun, rasanya kita terlalu cepat sampai disini. Kita akan kembali pada kritik kaum posmodernis tentang perspektif-perspektif yang telah mapan atau cerita tentang HI, dan pernyataan mereka atas nilai pluralisme dan keberagaman ini nanti.
Dari perspektif postmodern, study tentang perpolitikan dunia merupakan sebuah istilah yang lebih sering dipaki daripada Hubungan Internasional karena beberapa alasan yang dijelaskan pada beberapa poin dibawah ini.

(1) studi ini menghubungkan tentang serangkaian besar proses-proses, isu-isu, dan kelompok-kelompok;
(2) menyelidiki cara-cara penerapan kekuasaan dalam wacana-wacana dan praktik-praktik perpolitikan dunia;
(3) memetakan berbagai ragam cara pengkonstruksian dan penggunaan ruang politik oleh individu-individu dan kelompok-kelompok;
(4) menguraikan proses-proses yang kompleks dalam pengkonstruksian identitas-identitas politik;
(5) mengakui perbedaan-perbedaan keberagaman diantara beragam orang dan lintas budaya;
(6) mendorong penyebarluasan berbagai pendekatan dan pandangan dunia karena hal ini akan berakibat penggantian atau kelemahan bentuk-bentuk pengetahuan yang ‘ortodoks’ dan kekuasaan yang hegemonic;
(7) menyoroti isu-isu atau masalah-masalah yang sering kali dianggap remeh atau tidak penting guan mengekspresikan atau mengembalikan kepercayaan diri orang atau kelompok-kelompok yang telah dimarjinalkan dalam studi HI

Kajian yang bernama ‘posmodern’ ini telah memberi sumbangan penting pada Hubungan Internasional sejak awal 1980-an. Meski demikian asal usul intelektual posmodernisme diperkirakan telah ada jauh sebelum periode tersebut. Serangkaian pemikir telah memberikan pengaruh dan inspirasi bagi para sarjana postmodern kontemporer. Pada bagia ini kiat hanya berfokus pad aide-ide empat orang tokoh-Nietzsche, Heidegger, Foccault, dan Derida.
Studi mengenai posmodernisme akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dalam pengertian kritik terhadap modernitas dan proyek Enlightment. Filsuf Jerman, Martin Heidegger, mengembangkan sebuah kritik tentang Enlightment yang cukup mempengaruhi pemikiran postmodern kontemporer. Kai tidak akan mengupas ide-ide Heidegger secara rinci disini; tetapi menjabarkan secara umum kritik postmodern yang dikembangkannya.
Tentunya, seseorang mungkin berpikir bahwa jika modernitas dan Enlightment dibangun dalam sebuah visi tentang harapan untuk masa depan umat manusia, jadi mengapa kaum posmodernis menjadikan ide-ide ini sebagai sasaran kritik? Kritikm terhadap proyek Enlightment ini sebagian merupakan konsekuensinya dari kebangkitan fasisme pada 1930-an yang menjatuhkan Eropa kedalam zman kegelapan baru yang ditandai oleh perang, kehancuran, dan berbagai tindakan mengerikan lainnya seperti kekejaman barbarisme.
Pengalaman tentang sebuah bangsa modern yang sepertinya rela tunduk pada ‘kehendak kuat’ sang Fuhrer demi kejayaan ras Arya—pembantaian-pembatain perang semacam itu berlangsung juga di daerah Kerch di Crimea (sebuah republik otonom dibawah otoritas Ukraina) dan kamp-kamp kematian di Nazi di Auswitch dan Belzec—terlihat seolah-olah bertolak belakang dengan ide-ide tentang sejarah berbagai kemajuan menghasilkan keraguan tentang klaim-klaim Barat yang atas kemajuan dan peradaban. Pada masa kini, bayangan perang nuklir degradasi lingkungan hidup, serta tersebar luasnya perasaan teralienasi dan keputusasaan, yang seolah-olah terlihat mewabah dalam masyarakat-masyarakat kapitalis yang maju, telah menambah kritik-kritik lebih lanjut terhadap Barat yang dianggap sebagai pusat kemajuan.
Para pemikir posmodern banyak merujuk pada karya filsuf Perancis Michael Foucault. Oleh karena karya Foucault cukup luas, di sini kita akan berfokus hanya pada beberapa ide pokok – pandangan Foucault tentang relasi kekuasaan / pengetahuan, ide-idenya tentang wacana dan konsepsinya tentang manusia, atau subjek. Mengikuti Nietzsche, Foucault mengembangkan ide bahwa kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan ini adalah bahwa tidak ada ‘kebenaran’ yang tidak diperdebatkan mengenai ‘karakteristik’ manusia atau kehidupan manusia. Setiap hal yang kita pikir kita ‘tahu’ dengan pasti hanyalah merupakan sebuah ekspresi model-model pemikiran atau penjelasan dominan. Kita ‘tahu’ karena kita percaya bahwa hal itu benar. Kita percaya bahwa hal itu benar karena kita belajar di sekolah, diceritakan oleh para ilmuwan, para pakar teknis, birokrat, dan elit pembuat kebijakan. Oleh karena masyarakat selalu di organisasi dalam kerangka hierarki dan kesenjangan, kita tidak bisa begitu saja menerima bahwa sesuatu yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’ bersifat bebas dari kepentingan dan nentral. Orang yang berkuasa dalam masyarakat berada ada posisi sangat lebih baik, sehingga pandangan-pandangan mereka di terima sebagai ‘kebenaran’, dan mampu mengenyahkan atau mengucilkan pandangan-pandangan alternatif. Tentu saja, fakta bahwa kita sering kali membuat suatu pemisahan antara kanon-kanon ‘pengetahuan’ yagn diajarkan kepda kita di sekolah-sekolah dan universitas-universitas dan mitos-mitos, cerita-cerita, narasi-narasai, serta ‘pemahaman umum’ yang diturunkan dalam keluarga dan komunitas-komunitas local, merupakan sebuah konsekuensi dari modernitas dan Enlightenment. Penolakan dari tradisi, mitos, dan takhayul, sejalan dengan penguatan sebuah kelas penguasa baru dari laki-laki bojuis yang menggunakan ‘pengetahuan’ untuk melanggengkan posisi istimewa mereka.
Foucault berpendapat bawa tidak ada bentuk pengetahuan yang benar-benar murni. Semua pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut pandang tertentu. Berkaitan denga hal ini, para pemikir postmodern berbagi beberapa persaman mendasar dengan para pemikir kritis dari tradisi Marxisme. Meski demikian, para pemikir kritis menyatakan bahwa melalui dialog yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan, kita mungkin sedikitnya sampai pada suatu jenis ‘kebenaran’, meskipun selalu terbuka terhadap munculnya bentuk-bentuk penolakan. Para pemikir posmodernis, di sisi lain, berpendapat bahwa poyek semacam itu hanya akan mengantikan hegemoni dari salah satu ‘ke-ortodoks-an’ dengan yang lainnya. Kita tidak pernah bebas dari relasi penting (nexus) antara ekkuasaan / pengetahuan – hubungan tersebut memenuhi semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Pengetahuan, dengan demikian, mensyaratkan relasi kuasa, sehinga kita terus menerapkan sikap skeptisisme dan kritik. Dari sudut pandang postmodern, kapanpun kita dihadapkan dengan suatu ‘cerita’ tentang dunia. Maka kita harus bertanya : siapa yang berkuasa? Bagaimana kekuasaan dijalankan? Untuk tujuan apa? Bagaimana susunan-susunan tertentu hubungan kekuasaan bisa memengaruhi pandangan ini?
Menurut Foucault, ide tentang subjek manusia yang otonom dan rasional juga merupakan sebuah fiksi. Dalam karya sebelumnya, Foucault memberikan pandangannya mengenai subjek manusia dalam analogi sebuah badan, suatu bejana kosong, sebuah produk dari relasi kekuasaan yang di dalamnya kita semua dijadikan sasaran sepanjang hidup kita – dalam hubungan seksual, dalam keluarga, di sekolah, melalui pengaruh media dan komunikasi, melalui wajib militer, melalui peraturan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh polisi dan pengadilan, melalui disiplin yang diterapkan di tempat kerja, dan sebagainya. Tak heran, pandangan tentang subjek manusia ini telah dikritik sebagai anti kemanusiaan dan sangat pesimistik. Jika kita hanya menjadi produk dari disiplin dan hukuman, maka bagai mana kita pernah kita bisa bebas? Pada akhir hidupnya, Foucault sedikit mengubah pandangan-pandangannya. Tentunya kebanyakan kaum posmodernis kontemporer mengakui kapasitas untuk melakukan perlawanan dan pemberdayaan. Jika bukan seperti itu keadaannya, kita tidak akan menemukan contoh-contoh yang bertentangan atau persepektif-perspektif dan ‘cerita-cerita’ yang berbeda-beda tentang dunia. Tentu saja kaum posmodernis melihat sesuatu yang bernilai dalam keragaman pendekatan-pendekatan dan perspektif-perspektif dalam politik dunia bukan karena secara bersamaan mereka menambah simpanan pengetahuan kita dan membawa kita lebih dekat pada kebenaran, tetapi karena membuat kita bisa melihat dunia melalui kacamata yang berbeda-beda, yang memungkinkan kita untuk mendengar beragam pendapat yang mengungkapkan berbagai isu dan masalah, sehingga melemahkan klaim-klaim kebenaran dari berbagai pandangan dunia yang ortodok atau hegemonik.

Minggu, 23 Agustus 2009

FAKTOR PENDORONG KERJASAMA EKONOMI ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CHINA 2001-2005

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pada tahun 1975 Amerika Serikat keluar dari Vietnam dan adanya doktrin Nixon yang memaksa Negara-negara Asia untuk mengurus keamanannya sendiri. Sampai ada pertengahan dasa warsa 1980an AS dan banyak Negara industri maju lain mengalami resesi ekonomi berkepanjangan. Dua peristiwa ini tercermin dalam perubahan kebijakan Negara-negara industry maju dalam memberi bantuan. Warna geopolitik semakin mengabur, warna geoekonomi semakin tegas. Negara-negara maju baik secara bilateral maupun lembaga-lembaga multilateral didominasinya semakin menegaskan peran pasar sebagai mekanisme alokasi sumber daya ekonomi dengan aturan main liberal.
Perubahan geopolitik dan geoekonomi China dan AS pada dasarnya merupakan suatu proses transisi kekuatan suatu Negara yang awalnya menggunakan kekuatan politik dan militer unuk mencapai tujuan kepentingan nasional suatu Negara khususnya ekonomi. Seiring dengan perkembangan globalisasi kekuatan geopolitik semakin memudar dan berganti dengan kekuatan geoekonomi yang mendominasi kekuatan China dan AS melalui hubungan kerjasama dibidang ekonomi.
Hubungan kerjsama ini tidak lepas dari politik luar negeri AS pada masa perang dingin melihat komunisme sebagai ancaman utama, diamasa Reagan dan Bush senior kedua pemimpin tersebut kurang menjalin hubungan kerjasama ekonomi dengan China disebabkan defisit perdagangan AS pada tahun 1980 dari $ 74 miliyar Dollar AS melonjak menjadi $ 221 milyar Dollar AS pada tahun 1986 akhirnya turun lagi menjadi $150 miliyar Dollar AS pada tahun 1987 karena partai Demokrat dan partai Republik di kongres menolak mengurangi belanja pemerintah dan pelanggaran HAM yang dilakukan China pada krisis selat Taiwan serta peristiwa Tiananmen tepatnya 1989.
Selama pemerintahan Pemerintahan Bill Clinton di tahun 1993, ada perubahan dalam menerapkan geopolitik dan geoekonomi dari pembendungan (containment policy) menjadi realistis (realistic engangement) dengan haluan (grand strategy) yang bertujuan menciptakan suatu masyarakat dunia yang bebas dan komunitas ekonomi pasar yang demokratis. Strategi memfokuskan empat poin utama. Pertama memperkuat komunitas pasar yang demokratis. Kedua mendukung dan mengkonsolidasi system demokrasi dan ekonomi pasar bebas dimana saja. Ketiga menangkal setiap bentuk perlawanan terhadap system demokrasi dan mendukung proses liberalisasi di Negara-negara yang memusuhi system demokrasi. Keempat membantu proses demokratisasi dan system ekonomi pasar bebas dinegara-negara atau wilayah-wilayah di dunia yang menghiraukan terhadap permasalahan kemanusian.
Sebagai langkah awal, strategi perluasan didukung oleh suatu pandangan yang bersifat ekonomi sentries. Artinya hanya ditujukan kepada Negara-negara yang siap dengan kelompok kelas menengahnya yang kuat, yang diyakini mampu menjadi Negara demokratis, mengadopsi nilai-nilai barat untuk mengeliminasi perbedaan-perbedaan etnis, memberikan perlindungan terhadap hak warga negaranya dan bekerjasama dengan masyarakat internasional untuk memerangi terorisme. Sehingga secara operasional strategi perluasan di sepakati untuk mulai menerapkan kepada Negara-negara yang sudah siap untuk open market democracies atau demokrasi pasar terbuka seperti Negara-negara Eropa Tengah, Eropa Timur dan Asia Pasifik.
Terhadap Negara-negara Asia AS memahami bahwa di wilayah ini cara pandang terhadap konstitusi demokratis sangat berbeda, lebih menekankan hak kolektif dari pada hak individual. Oleh karena itu operasionalisasi dari enlargement policy pada periode pertama kepemimpinan Clinton cenderung mencari akses untuk menciptakan pasar bebas, daripada mempromosikan demokrasi dan nilai-nilai barat. Hal ini ditujukan melalui sikap moderat AS dalam masalah demokratisasi dan HAM terhadap China dan Negara-negara Asia Pasifik lainnya.
Perdagangan bebas merupakan geoekonomi yang ingin dicapai AS dalam membina hubungan baik secara bilateral maupun multilateral. Untuk mencapai ini pemerintahan Clinton gencar melakukan diplomasi pasar terbuka di segala penjuru dunia, dimana hal itu memungkinkan dan menguntungkan. Antara 1993-1996 misalnya AS berhasil membuat lebih dari 200 perjanjian baru untuk perdagangan bebas. Hal tersebut sekaligus menciptakan kurang lebih 1,6 juta lapangan kerja baru didalam negeri AS. Untuk hal ini prinsip yang di pegang oleh pemerintahan Clinton adalah membantu mensukseskan ekonomi pasar terbuka kemudian beranjak dari bantuan menuju perdagangan dan investasi.
Sedangkan pada masa kepemimpinan Bush tahun 2000 kinerja politik luar negerinya pada tahun pertama meneruskan kebijakan dari presiden sebelumnya yakni Bill Clinton, awalnya kemampuan Bush kurang begitu terlihat dalam memimpin AS. Namun sejak peristiwa 11 September 2001 WTC menghancurkan asset ekonomi AS, kebijakan luar negeri Bush beralih pada isu-isu internasional terutama fokusnya pada terorisme yang telah mengancam keamanan nasional dan internasional.
Bagi perekonomian AS hal ini tentu saja mengkhawatirkan sebab ancaman depresi ekonomi dengan sendirinya muncul sementara AS selama ini banyak menggantungkan investasi-investasi dari luar negeri dalam hal ini sumber daya alam bagi industri AS berasal dari dari Negara-negara lain. Dengan kondisi keamanan AS tentu Negara-negara tersebut befikir kembali untuk mengadakan kerjsama dengan AS sebab ketakutan investor akan terjadinya peristiwa serupa dapat menghentikan pemasukan investasi mereka.
Adanya perbedaan poltik luar negeri yang diterapkan Bill Clinton dengan Bush adalah kalau Bill Clinton memasukan Negara-negara Asia dalam setiap kebijakannya dan menjalin hubungan yang harmonis terutama di bidang perdagangan serta liberalisasi demi terwujdnya kepentingan-kepentingan AS sedangkan Bush lebih memfokuskan diri dalam menjalin hubungan dengan Negara-negara Eropa sebab pasca 11 september 2001 AS memerlukan dukungan dari Negara-negara yang memiliki pengaruh besar dan kekuatan militer guna memberantas terorisme dengan bekerjasama demi terwujudnya perdamaian dunia. Dengan adanya penurunan ekonomi AS membuat turunnya kepopuleran Bush dimata publik AS.
Gedung putih memberikan kebijakan pengurangan pajak supaya kepopuleran Bush tetap terjaga. Namun sebaliknya pengurangan pendapatan Negara dari pajak justru memicu protes dari para pendukung pelayanan sosial, kesehatan dan pendidikan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan Bush untuk memulihkan resesi ekonomi hasinya belum dapat dirasakan oleh masyarakat AS. Akibat WTC dan pengeluaran dana berlebihan untuk menanggulangi terorisme mengakibatkan penurunan pendapatan perekonomian AS.
Krisis globalisasi, neoliberalisme, legitimasi kapitalis dan over produksi yang saling berpautan menawarkan kebijakan ekonomi pemerintahan Bush yang mengarah ke unilateralisme. Adapun elemen-elemen kebijakan ekonomi Amerika Serikat sebagai berikut :

1. Mengadakan kontrol atas minyak Timur Tengah
2. Perlindungan yang agresif dalam masalah investasi dan perdagangan
3. Memasukan pertimbangan-pertimbangan strategis dalam perjanjian dagang
4. Manipulasi nilai tukar dollar untuk mematok biaya krisis ekonomi terhadap rival-rival dikalangan Negara-negara yang kuat ekonominya dan meraih kembali tingkat kompetisi bagi Amerika Serikat
5. Manipulasi yang agresif terhadap agen-agen multilateral untuk mendorong kepentingan modal Amerika Serikat
6. Meminta Negara-negara lain yang kuat ekonominya dan Negara-negara berkembang untuk menanggung beban penyelesaiannya krisis lingkungan.

Hasil kebijakan Bush ini harus mempertimbangkan keadaan ekonomi global Amerika Serikat dan agar tidak terjadi benturan kepentingan antara Negara-negara partner kerjasama . sehingga diperlukan balance of power guna menekan hegemony AS agar tidak berkembang sampai Asia Pasifik khususnya China.


PERUMUSAN MASALAH

Dilihat dari latar belakangnya, adanya faktor yang menjadikan perdagangan antar kedua manjadi meninggkat. Sinyal-sinyal yang diberikan Amerika Serikat kepada China dapat memberikan angin segar bagi perekonomian kedua belah pihak. Oleh karena itu timbul suatu pertanyaan, apakah yang menjadi faktor pendorong kerjasama ekonomi antara AMERIKA SERIKAT dan CHINA 2001-2005?





KERANGKA TEORI

Dalam kerangka teori ini menggunakan pemikiran K.J Holsti tentang kebijakan luar negeri. Salah satu tujuan penting dari kebijakan luar negari suatu Negara dalam menjamin kepentingan nasionalnya adalah bahwa kepentingan nasional suatu Negara harus seimbang dengan kapabilitasnya. Dalam pencapaian kepentingan nasional, suatu Negara bukan hanya menyadari kepentingannya sendiri, tapi juga harus menyadari kepentingan nasional Negara-negara lain. Holsti merumuskan pengertian kepentingan nasional, cita-cita atau tujuan bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan Negara lain. Hubungan tersebut bias berupa interaksi bilateral sedangkan jika lebih dari dua Negara disebut dengan interaksi multilateral. Hubungan kerjasama yang kooperatif biasanya dikenal dengan kerjasama bilateral merupakan manifestasi pencapaian kepentingan bersama antara kedua pihak yang bersifat khusus.
Kondisi semacam ini didasari oleh 4 landasan yaitu:

a) Memiliki kesamaan kepentingan, tujuan dan kebutuhan Negara.
b) Pembagian biaya, resiko,beban dan penghargaan yang pantas antara kedua Negara yang bekerja sama.
c) Percaya bahwa komitmen yang sudah di sepakati dapat dipenuhi.kecil kemungkinannya untuk gagal.
d) Memiliki reputasi yang baik dalam memberikan suatu hubungan timbal-balik

Peningkatan ekspor ke Cina ke Amerika Serikat tidak terlepas dari kerjasama dalam bentuk perdagangan bebas diantara kedua Negara. Perdagangan mempunyai definisi proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menentukan pertukaran tersebut. Perdagangan selalu menguntungkan masing-masing pihak (atau setidak-tidaknya tidak merugikan salah satu pihak), sebab kalau tidak demikian perdagangan tidak terjadi.




BAB II

PEMBAHASAN

Pada bulan Februari 1972 kunjungan Presiden Nixon ke Beijing untuk memperbaiki hubungannya dengan China sekaligus bersama-sama menghadapi Uni Soviet. Namun, normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan China itu baru dilakukan 1 Januari 1979. Keputusan normalisasi itu diambil Presiden Jimmy Carter, setelah kunjungan ketua dewan keamanan nasional (NSC-National Security Council) Zbigniew Brzezinski ke Beijing bulan Mei 1978. Hubungan itu memberikan banyak keuntungan bagi China,antara lain meningkatnya perdagangan, partisipasi damai dalam keseimbangan regional dan global serta mencegah ancaman agresi Uni Soviet. Dalam invasi China ke Vietnam tahun 1979, AS bereaksi diam, hal ini menunjukkan bahwa Washington mau menerima peran China yang independen dalam keseimbangan regional.
Tahun 1978 hubungan direalisasikan dengan pengiriman ratusan ribu warga Cina ke AS dan Eropa untuk mendalami fondasi perekonomian pasar. Lalu pada 1979, China memutuskan meliberalisasi sector keuangan dengan memanfaatkan kehadiran bank. Dana pembangunan yang sebelumnya mengandalkan alokasi anggaran pemerintah, mulai diserahkan ke lembaga perbankan, yang juga bagian dari pengenalan kepada mekanisme pasar yang relative lebih efektif mengenai alokasi kredit.
Saat itu pula perbaikan ekonomi China semakin tergantung pada Amerika Serikat. Amerika Serikat menjadi mitra dagang ketiga China setelah Jepang dan Hongkong. Kemudian hubungan itu berkembang di tahun 1986, dimana Amerika Serikat menyetujui penyediaan energi dan teknologi nuklir untuk pembangunan industry listrik di China. Di samping itu AS tetap mengawasi pengembangan teknologi nuklir karena khawatir jika teknologi nuklir tersebut digunakan untuk pengembangan senjata militer atau senjata nuklir yang sebaliknya mengancam AS sendiri sebagai super power.
Seiring dengan perbaikan ekonomi dan politik China di akhir 1980-an terjadi peristiwa Tiananmen 4 Juni 1989 yaitu peristiwa pembantaian terhadap para demonstran di antaranya mahasiswa dan rakyat sipil yang dilakukan oleh TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) membuat dunia internasional mengecam keras China dalam pelaksanaan HAM dan demokratisasi. Kecaman dunia internasional terhadap China direalisasikan penerapan sanksi dan pembekuan hubungan diplomatic. AS menerapkan sanksi kepada China dengan menghentikan pertukaran pejabat tingkat tinggi antar kedua Negara.
Pasca Tiananmen AS mengupayakan pendekatan bilateral kepada China sejak Oktober 1983 dengan melakukan kunjungan Menham William J. Perry dan juga pejabat Pentagon guna memberi penjelasan mengenai Tentara Pembebasan Rakyat China yang telah terlibat dalam peristiwa Tiananmen. Upaya ini dianggap sebagai niat baik untuk mengembangkan transparansi, perbaikan hubungan dengan China yang merupakan kebijakan strategis AS dan memajukan demokrasi serta HAM di Asia Pasifik.
Pada 26 Maret 1997 Wapres Al Gore melakukan kunjungan ke China serta berhasil mengajak Beijing menandatangani kontrak dagang senilai 2,2 miliar dollar AS, dengan perusahaan-perusahaan Amerika, Boeing, dan General Motors. Wapres Al Gore dan PM Li Peng juga akan menandatangani perjanjian politik lain, yakni sepakat mempertahankan kehadiran konsulat AS di Hongkong setelah kota Hongkong dikembalikan kepada Beijing tanggal 1 Juli 1997. Tujuan utama kunjungan Wapres Al Gore ialah untuk mempersiapkan rencana kunjungan Presiden Bill Clinton dengan Presiden Jiang Zemin guna meningkatkan hubungan kerjasama yang selama ini kurang harmonis. Hubungan kedua Negara ini meskipun pernah mengalami pasang surut setidaknya dapat mempengaruhi kestabilan dan kesejahteraan kawasan Asia Pasifik.
Bagi China, pengembalian Hongkong kepada China 1 Juli 1997 memiliki arti politis tersendiri, yakni untuk mempertahankan kedaulatan nasional China. Di samping itu Hongkong sebagai tempat usaha 1200 perusahaan AS dengan nilai investasi lebih dari 15 miliar dollar AS dan tempat berlabuhnya kapal-kapal AS yang sedang berlayar ke Asia Pasifik menjadikan China sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketiga setelah AS dan Jepang.
Pada April 1999 PM Zhu Rongji melawat ke AS untuk memberikan Konsesi Besar dalam berunding dengan Bill Clinton tetapi PM Zhu tidak berhasil karena AS menuntut lebih banyak. Kemudian diikuti peristiwa pengeboman Kedutaan Besar China di Belgarado pada Mei 1999 mengakibatkan krisi hubungan diplomatic China dan Amerika Serikat. Pada bulan Juni dan Juli Jiang Zemin berusaha bernegosiasi guna pemulihan hubungan diplomatic antara kedua Negara agar China mendapatkan dukungan dari AS untuk masuk menjadi anggota WTO.
Berdasarkan negosiasi dagang bilateral yang telah dicapai pada 15 November 1999 dan faktor kondisi politik dalam negeri, militer, ekonomi, dan kontek internasional, maka Bill Clinton bersedia mendukung penuh keanggotaan RRC di WTO. Awal November 2001 China resmi menjadi anggota WTO dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2002, maka saat itu pula dimulai tahap baru bagi China dalam percaturan perdagangan dan investasi internasional.
Meskipun diakui bahwa hubungan AS-China memburuk ketika sebuah pesawat militer AS mengadakan perjalanan ke Pulau Hainan pada bulan April 2001, namun Powell menyatakan bahwa hubungan AS-China sekarang adalah yang terbaik sejak Presiden Nixon mengunjungi Beijing tahun 1971. Ini bukan karena peristiwa 11 September 2001 yang perlu diubah, akan tetapi juga karena AS menjadi sponsor China menjadi anggota WTO. AS tidak pernah mengingkari penyalahgunaan HAM oleh China. China masih belum mau membawa kesetaraan antara reformasi ekonomi dan reformasi politik. Oleh karena itu AS mengajak China supaya membawa kesetaraan antara reformasi dan politik guna hubungan kerjasama yang dinamis serta mengurangi pelanggaran HAM yang sering terjadi di China.
Pada 16 November 2005, kunjungan Presiden AS George Bush ke Beijing dalam rangka memberikan pendapat atas masalah-masalah besar seperti surplus dagang China yang tinggi, nilai mata uang China dan hak-hak property intelektual. Sementara Bush menyerukan China agar memiliki kebebasan politik dan agama lebih besar yang menjadi berita besar di luar negeri sedangkan di media China tidak ada laporan mengenai itu. Pertemuan dilangsungkan di tengah perseteruan soal impor pakaian murah dari China ke pasar Amerika Serikat.
Dalam kunjungan ini Presiden Bush dan Hu Jintao pada 20 November 2005 akhirnya mencapai persetujuan Boeing dengan menyeimbangkan perdagangan antara kedua Negara, pemimpin China menjanjikan untuk melanjutkan usaha mencapai nilai mata uang dengan nilai pasar, dan menghentikan tindakan pembajakan berbagai produk yang merugikan pengusaha AS miliaran dollar serta China akan membeli 70 pesawat Boeing dari AS. Pembelian pesawat itu merupakan usaha mengurangi frustasi Amerika Serikat atas surplus perdagangan China yang diperkirakan mencapai 200 miliar dollar AS.
Dengan berakhirnya Perang Dingin terdapat perubahan politik luar negeri Amerika Serikat khususnya dalam hal kepentingan nasional dengan berkembangnya nilai-nilai demokrasi, HAM, hak menentukan nasib sendiri dan pertumbuhan ekonomi. Perdamaian, kebebasan, dan kesejahteraan dunia merupakan focus dari politik luar negeri Presiden Clinton dan Presiden Bush. Seperti halnya China memfokuskan kebijakan perekonomiannya dengan membuka kebijakan industrialisasi bagi investasi asing, meningkatkan hubungan dagang dengan AS melalui peningkatan ekspor, perluasan pasar serta peran swasta yang semakin luas, menjadikan peluang hubungan kerjasama antara AS dengan China lebih harmonis dibandingkan pada masa Perang Dingin.
Meskipun Amerika Serikat merupakan Negara super power, namun pada kenyataannya Amerika Serikat tidak mampu mendominasi Negara lain karena system hegemoni Amerika Serikat pada pasca Perang Dingin sudah mulai longgar. Sehingga China di akhir Perang Dingin muncul sebagai raksasa ekonomi yang semakin mengancam kedudukan ekonomi AS. Tetapi pada kenyataannya China dan Negara-negara berkembang masih bergantung pada AS mengenai masalah keamanan pertahanan, dan politik.





BAB III

KESIMPULAN

Perubahan situsai internasional pasca Perang Dingin membuat China membuka diri dalam perekonomian dan modernsiasi negaranya mealui kerjasama dengan AS.kerjasama AS diperlukan China sebagai peluang investasi asing, sebagai pansa pasar dari produk China, dan membangun pengaruh di kawasan Asia Pasifik . berakhirnya Perang Dingin membuka peluang yang lebih besar bagi perluasan dan peningkatan peran negara-negara besar. Perluasan dan peningkatan dengan sendirinya merubah tatanan kekuatan di kawasan Asia Pasifik. Munculnya China sebagai negara besar Asia akan menjadi kekuatan dominan menggantikan AS dan uni soviet dikawasn Asia Pasifik.
Munculnya ekonomi sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia Pasifik tidak lepas dari peran pemimpin yang dituangkan dalam kebijakan politik dan ekonominya. Dibawah kepemimpina Deng Xiaoping telah membawa China dalam perubahan ekonomi dalam mencanangkan reformasi ekonomi di segala bidang dan dikenal sebagai ekonomi pasar sosialis China serta direalisasikan dengan Pembentukan Zona Ekonomi Khusus (Spesial Economic Zone atau SEZs) yakni membuka 14 kota pantai. Reformasi China menitikberatkan perhatian pada sektor pembangunan ekonomi dengan program revitalisasi ekonomi domestik dan membuka diri bagi piehak luar demi mendukung kepentingan nasional China serta kebijakan industrialisasi dengan pengaturan kembali PMA sehingga lebih padat modal, mempercepat alih teknologi dan lebih berorientasi ke ekspor . dalam penerapan reformasi ini, peran pemerintah digantikan oleh pasar yang lebih luas dan terbuka.
Akibat keberhasilan China dalam perekonomian yang ditandai dengan naiknya pertumbuhan ekonomi secara bertahap, membuat AS ingin mendekatkan diri dengan China memlaui kerjasama. Kemudian hubungan kerjasama. Kemudian hubungan kerjasama antara AS denganChina pasca Tiananmen di tahun 1997 merupkana langkah awal dari hubungan kedua negara yang sebelumnya hubungan tersebut mengalami pasang surut masalah ekonomi dan politik. Hubungan kerjasama tersebut telah berlanjut sampai pada tahun 2005 dengan ditandatangani kesepakatan dagang AS dan China dalam persetujuan Boeing..
Peningkatan hubungan perdagangan juga dilakukan dengan ekspor Cina ke AS yang terus meningkat pasca krisis ekonomi disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi sebagai lahan investasi bagi Amerika Serikat karena ketersediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas tinggi baik modal, teknologi, kualitas tenaga kerja, bahan mentah dan upah buruh yang murah maupun daerah investasi yang sangat strategis serta globalisasi menciptakan kompetisi yang sangat ketat untuk mempromosikan ekspor dan menarik berbagai ragam investasi dalam skala internasional. Hal ini secara langsung Cina mendapatkan keuntungan komparatif advantage dari hubungan ekspor Cina ke AS.
Kebijakan industrialisasi di mana pemerintahan Hu Jintau juga berdampak pada peningkatan ekspor Cina ke AS ditandai dengan aliran investasi asing atau FDI, kuatnya teknologi dalam negeri Cina dengan menggunakan transfer teknologi, dan pertumbuhan ekonomi Cina begitu pesat memberi peluang pada masyarakat swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi tanpa campur tangan dari pemerintah, serta permintaan konsumen dalam negeri AS guna pemenuhan kebutuhannya lebih murah mengimpor komoditas dari Cina.
Pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat sebagai akibat dari peningkatan ekspor Cina ke AS telah membuktikan pengaruh dari reformasi ekonomi oleh Deng Xiao Ping pada tahun 1978 dengan keberhasilan system ekonomi pasar sosialisnya. Kekuatan perekonomian Cina telah membawa ekspansi Cina pada negara-negara Asia dan menimbulkan rasa kekhawatiran AS dan Negara-negara maju maupun negara berkembang lainnya. Ekspansi ini telah membuka peluang pasar global bagi negara-negara maju dan berkembang supaya dapat bersaing di era globalisasi ini.
Kerjasama AS dengan China juga terealisasi dengan masuknya Cina dalam keanggotaan WTO di tahun 2001. Dengan keanggotaan Cina di WTO berhak menentukan untuk melakukan reformasi sesuai dengan peranannya dalam masyarakat internasional, mulai dari perbaikan jangkauan pasar (penurunan biaya masuk atas produk manufaktur dari luar, distribusi dan sebagainya) serta penerapan hak intelektual demi peningkatan daya saing Cina. Hal itu juga memberikan kesempatan bagi Cina dan Negara Asia Pasifik serta AS agar ikut berperan aktif dalam kegiatan perdagangan internasional yang memberikan kontribusi bersama. Di samping itu, kerjasama dengan WTO juga mempercepat dan melancarkan penyesuaian struktur ekonomi, pertanian dan industry dengan perdagangan internasional.
Dalama hal ini juga permasalahan ideologi juga salah satu faktor yang menjadi pemicu akan meningkatnya hubungan dagang AS dan China. Isu-isu konvensional bukan lagi menjadi penghambat dalam era pasca perang dingin akan tetapi sudah bergeser ke arah non konvensional.

Bob Sugeng Hadiwinata, Politik bisnis internasional, Kanisius, Yogyakarta,2002,hal 9
Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika, Jakarta, Deplu AS , 2004 hal 420
Kompas 30 Juli 1997
Ibid
Walden Bello, “krisis proyek globalis dan ekonomi George W Bush”, The fall issue of new labour forum, Berlin 2002 hal 5
K.J.HOLSTI,International Politics: A Frame Work For Analysis,(University of British, Columbia,1993),hal 89
Boediono, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 3 : Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001, hal.10 dan 16.
James NB Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan Yang Mempengaruhinya Pendekatan Politik dan Keamanan, PT Grasindo, Jakarta, 1998, hal. 95-96
Suara Pembaharuan, 22 Desember 1996
Kompas, 26 Maret 1997
Bagas Hapsoro, Bagaimana Lengser dari Irak Tanpa Kehilangan Muka: Catatan Untuk Amerika dalam Hubungan Internasional Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.195
“Bush Tinggalkan China Dengan Sedikit Keuntungan”, dalam http://www.bbcindonesia.com diakses tanggal 10 Agustus 2009
“Bush Mendesak Kebebasan Lebih Besar Dari China”, dalam http://www.bbcindonesia.com diakses tanggal 10 Agustus 2009

Kamis, 16 Juli 2009

KONFLIK SRILANKA-MACAN TAMIL

PENDAHULUAN

Sri Lanka termasuk salah satu negara multirasial. Kelompok Sinhala merupakan ras terbanyak, sedangkan orang-orang Tamil merupakan ras terbesar kedunia di negeri itu. Ras Sinhala hampir seluruhnya memeluk agama Budha dan jumlahnya 75 persen dari seluruh penduduk Sri Lanka yang berjumlah sekitar 18 juta jiwa. Sedangkan ras Tamil jumlahnya hanya 18 persen dan kebanyakan beragama Hindu.

Berdasarkan catatan sejarah, kedua ras itu sama-sama berasal dari India. Orang-orang Sinhala berasal dari India Utara, sedangkan orang-orang Tamil berasal dari India Selatan. Anehnya, walau kedua etnis itu sudah berabad-abad hidup bersama dalam sebuah pulau, mereka tetap mempertahankan identitasnya dan tidak berbaur dengan penduduk lainnya di negeri tersebut.[1]

Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi yang berafiliasi Tamil berusaha untuk membentuk front gabungan Tamil. Pada tahun 1979, berhasil dibentuk Front Pembebasan Tamil Bersatu yang dengan tegas menuntut kemerdekaan Tamil di Sri Lanka, sehingga Sri Lanka menjadi panas.

Sengketa semakin bertambah ketika golongan Tamil pada bulan Juli 1983 melakukan pembalasan berdarah terhadap serangan yang dilancarkan oleh agen-agen Pemerintah terhadap orang-orang Tamil di Kolombo. Serangan-serangan itu tidak hanya dilakukan terhadap pos-pos pemerintah, tetapi dengan berani sekali mereka menghantam patroli militer yang dilakukan oleh Pemerintah Sri Lanka.

PERMASALAHAN

Sewaktu Sri Lanka memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Februari 1948, belum ada gejala-gejala permusuhan di antara ras itu. Namun pada dekade pertama kemerdekaan Sri Lanka, perselisihan kedua ras tersebut di negara itu mulai menggejala. Masyarakat Tamil yang semula mempunyai hak yang sama dan menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan dan dunia perdagangan, lambat-laun merasa diri mereka sebagai warga-negara kelas dua.

Tanda-tanda perselisihan orang Tamil itu semakin jelas setelah pemerintah menyatakan bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa resmi di negara itu (1956). Kemudian, orang-orang Tamil semakin dibatasi keterlibatannya dalam dunia pendidikan dan kesempatan kerja. Serentetan tindakan rasdiskriminasi itu memaksa orang-orang Tamil menurut otonomi regional di bagian utara dan timur negeri itu.
Perselisihan rasial semakin menganga setelah Pemerintah Sri Lanka memindahkan penduduk yang menurut orang-orang Tamil merupakan tempat leluhur mereka. Tindakan Pemerintah ini oleh orang-orang Tamil dianggap sebagai meremehkan mereka dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua. Itulah kebijakan-kebijakan awal Pemerintah Sri Lanka yang memancing orang-orang Tamil menjadi penasaran.

PEMBAHASAN

Konflik terbuka antara orang-orang Sinhala dengan orang-orang Tamil pecah pada awal tahun 1980-an, yakni ketika puluhan orang meninggal dunia karena terjadinya perang antar kelompok masyarakat. Kemudian, beratus-ratus ribu orang Tamil melarikan diri ke Propinsi Jaffna di Utara yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Tamil.
Sejak terjadinya kerusuhan itu, maka di Sri Lanka mulai timbul gejala-gejala konflik yang bersifat terorisme, seperti pembunuhan-pembunuhan serta perampasan. Di antara kelompok Tamil yang paling berpengaruh adalah Macan Tamil (Harimau Tamil) yang membentuk dirinya menjadi suatu gerakan bersenjata. Gerakan Macan Tamil inilah yang pertama kali melakukan gerilya kota dan memaklumkan perang rakyat terus menerus terhadap Pemerintah, yang disebutnya sebagai pemerintah Sinhala.

Serangan gerilyawan Tamil atas konvoi angkatan darat Sri Langka di samping merupakan contoh keberanian, tetapi juga sekaligus merupakan kenekatan mereka. Serangan yang sangat berani dilakukan beberapa kali disertai pembantaian-pembantaian membabi-buta terhadap penduduk sipil Sinhala.Melihat hebatnya gempuran-gempuran dari pihak gerilyawan Tamil, terutama dari kelompok Macan Tamil, maka Pemerintah Sri Lanka berkesimpulan bahwa sejak awal India bersimpati terhadap gerakan separatis itu, yakni dengan cara melatih mereka di negara bagian Tamil Nadu, India Selatan. Hal ini disebabkan, karena gerakan pertama gerilyawan Tamil itu membuat pihak keamanan Sri Lanka kedodoran dan hampir kehilangan kontrol.

Gerilyawan Macan Tamil mengebom pangkalan udara di dekat bandara internasional di selatan Kolombo, Srilanka, pukul 2 dinihari tadi. Dua orang tewas, 17 lainnya luka-luka akibat bom yang dijatuhkan menggunakan pesawat ringan yang berhasil menembus pertahanan pangkalan militer itu. Tak ada korban sipil dalam aksi ini. Bandara internasional,tak jauh dari sasaran luput dari serangan, namun segera ditutup oleh pemerintah untuk berjaga-jaga jika ada serangan lanjutan.
Kelompok Tamil telah menyatakan bertanggungjawab atas serangan itu. Mereka menyebut serangan dilakukan menggunakan dua pesawat ringan dan keduanya pulang ke pangkalan dengan selamat. "Itu kami lakukan untuk melindungi warga sipil Tamil dari pengeboman oleh Angkatan Udara Srilanka. Serangan berikutnya akan menyusul," demikian bunyi pernyataan mereka.

Pihak militer Srilanka menyebut serangan itu hanya membawa kerusakan kecil dan operasi perburuan mengejar para gerilyawan akan ditingkatkan.
Ini adalah serangan kedua setelah sebelumnya terjadi tahun 2001. Dalam serangan pertama, kelompok Tamil menggunakan pasukan bom bunuh diri. Saat itu, nyaris separuh armada pesawat penerbangan nasional Sri Lanka hancur.

Kelompok Tamil selama ini berjuang melawan pemerintah yang dikuasai kelompok Sinhala. Mereka menuntut kemerdekaan di kawasan selatan dan timur Srilanka. Sejak konflik ini, sedikitnya 64.000 orang tewas dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi. Pertempuran berkecamuk antara pasukan Pemerintah Sri Lanka dan kaum gerilyawan Macan Tamil di sebuah kota pesisir di Sri Lanka timur laut, Kamis (3/8).

Tembakan artileri Macan Tamil dikabarkan menghantam sebuah sekolah dan menewaskan 10 warga sipil yang berlindung di sana. Pihak Departemen Pertahanan Sri Lanka mempersalahkan para gerilyawan atas meletusnya pertempuran artileri di kota Muttur. Sebaliknya, sebuah pernyataan yang dilansir di situs pro-Macan Tamil, TamilNet, menuduh justru pasukan pemerintah yang memprovokasi penembakan.

Menurut Departemen Pertahanan Sri Lanka, di samping 10 korban tewas, juga ada 20 hingga 30 korban luka-luka. Dalam pertempuran sehari sebelumnya, yang terjadi di kota pelabuhan Trincomalee dan Muttur, pasukan pemerintah berhasil menewaskan lebih dari 40 gerilyawan Tamil dan mencederai 70 orang lainnya. Kedua pihak sama-sama mengklaim berada dalam posisi unggul dalam kontak tembak yang terjadi. Akan tetapi, tak ada cara untuk memantau situasi di lapangan secara independen karena tertutupnya lokasi pertempuran bagi wartawan dan pihak asing lainnya.

Situs internet TamilNet juga mengutip beberapa penduduk setempat yang menyatakan, pertempuran sengit tengah berlangsung di Muttur. Di sana ratusan gerilyawan Macan Tamil yang bersenjata berat, sebelumnya telah mengambil alih pusat kota, mulai melakukan pengepungan atas empat kamp tentara Sri Lanka di daerah pinggiran. "Sejumlah penduduk berlindung di masjid-masjid dan gereja," demikian TamilNet.

Pemerintah Sri Lanka kemarin menuding sejumlah lembaga hak asasi manusia dan organisasi internasional menyokong kelompok gerilyawan Macan Pembebasan Tamil Eelam. Mereka menuduh lembaga-lembaga asing berniat memperpanjang perang sipil di negeri itu. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Sri Lanka Gotabhaya Rajapaksa.

"Mereka berlagak menjadi badan-badan kemanusiaan, lembaga bantuan, kebebasan media, kelompok hak asasi manusia," katanya, sebagaimana termuat dalam laman situs Departemen Pertahanan Sri Lanka. "Mereka sengaja membuat pertumpahan darah terus berlanjut di bumi Sri Lanka untuk mencari keuntungan bisnis.

Direktur Human Rights Watch Wilayah Asia Brad Adams mengatakan bahwa tudingan itu dilancarkan oleh Menteri Rajapaksa setelah Human Rights Watch menuduh militer Sri Lanka membombardir secara membabi-buta wilayah zona bebas perang di wilayah utara Sri Lanka, tempat pemberontak Macan Tamil bertahan. Dia menerima sejumlah laporan bahwa penduduk sipil terbunuh dan cedera setiap hari di zona bebas pertempuran itu. Tapi pemerintah Sri Lanka telah menanggapi keprihatinan internasional dengan amarah. Lebih lanjut, lembaga yang berbasis di New York, Amerika Serikat, tersebut mengatakan ada lebih dari 150 ribu warga sipil etnis Tamil yang terjebak.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan lebih dari 2.800 warga sipil diduga tewas terbunuh dan lebih dari 7.240 lainnya cedera dalam pertempuran yang berlangsung sejak 20 Januari lalu itu. Ketua Hak Asasi PBB Navi Pillay belum lama ini memperingatkan bahwa kedua pihak di dalam konflik tersebut bisa dituduh bersalah melakukan kejahatan perang.

Maklumlah, sebagaimana diungkapkan Human Rights Watch, Macan Tamil juga memakai warga sipil yang terjebak di sepanjang wilayah pantai sebagai benteng pertahanan gerilyawan Macan Tamil, yang kini tersudut oleh serangan besar militer. Adapun Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mendesak Kolombo menghentikan serangan.

Militer Sri Lanka menegaskan mereka telah mengizinkan lebih dari seribu warga sipil meninggalkan zona perang tersebut. Komite Palang Merah Internasional mengatakan pada Ahad lalu mereka telah mengungsikan 493 pasien beserta keluarga melalui laut dari Puttumattalan menuju Kota Pulmoddai di Sri Lanka timur laut.

Beberapa pengungsi lainnya dikabarkan berjalan kaki melewati hutan. Juru bicara Palang Merah, Sarasi Wijeratne, mengatakan pihaknya telah mengirim obat ke rumah sakit darurat di Puttumattalan, jauh di dalam wilayah yang dikuasai pemberontak, di mana puluhan ribu orang masih terperangkap akibat pertempuran.

Palang Merah mengklaim berhasil mengungsikan hampir 5.000 pasien beserta keluarga dari Puttumattalan untuk dirawat di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah. Militer mengatakan telah membunuh dua pemimpin Macan Tamil. Namun, tak ada keterangan mengenai korban di pihak pasukan pemerintah.

Belum ada pula pernyataan segera mengenai hal itu dari Macan Tamil, yang diklaim Kolombo hampir kalah dalam perang puluhan tahun guna mendirikan negara Tamil merdeka. Laporan-laporan independen dari zona konflik hampir tidak bisa diperoleh karena sebagian besar wartawan, pekerja bantuan, dan pengamat internasional dilarang ke sana. Sejumlah analis mengatakan Macan Tamil semakin mendekati kekalahan dan perang akan segera berakhir. Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa telah memperingatkan agar pemberontak Macan Tamil menyerah tanpa syarat atau dibunuh. Dia mengatakan bahwa mereka (Macan Tamil) harus mengizinkan warga sipil pergi dan kemudian menyerah tanpa syarat.

Lebih dari 70 ribu orang tewas dalam konflik separatis panjang di Sri Lanka itu sejak 1972. Sekitar 15 ribu pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnis berkepanjangan tersebut. Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang.

Kelompok etnis Tamil berkumpul di provinsi-provinsi utara dan timur, yang dikuasai Macan Tamil. Kelompok Macan Tamil masuk daftar teroris yang dikeluarkan Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan India. Penyebabnya, antara lain, kelompok gerilya itu melancarkan serangan-serangan bom bunuh diri selama perang saudara tersebut.

Lebih dari 150 ribu warga sipil terjebak di tengah-tengah zona bebas bentrokan senjata antara Angkatan Bersenjata Sri Lanka dan gerilyawan Macan Pembebasan Tamil Eelam. Satu per satu benteng Macan rontok digempur serdadu Sri Lanka. Macan kini kian terpojok di benteng pertahanan terakhir mereka di wilayah utara Sri Lanka.

Kelompok hak asasi manusia yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, Human Rights Watch, menyebutkan, pengeboman membabi-buta yang dilakukan militer Sri Lanka terhadap gerilyawan Macan Tamil ikut menewaskan sejumlah penduduk sipil setiap hari di zona bebas perang tersebut. Meski demikian, menurut Direktur Human Rights Watch Brad Adams, Sri Lanka terus membantah adanya serangan-serangan itu. Sebaliknya. Macan Tamil tetap memakai warga sipil di sana sebagai tameng hidup dalam sejumlah pertempuran berdarah tersebut. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 2.800 warga sipil diduga telah

Setelah pemerintahan di Kolombo yakin sekali bahwa India membantu gerakan Tamil, maka semua kapal-kapal penangkap ikan India yang berada di sebelah utara perairan Sri Lanka dihantam oleh angkatan laut Sri Lanka. Akibatnya, angkatan laut kedua negara terlibat langsung dalam pertikaian itu. Baru setelah menawarkan jasa baik untuk melaksanakan gencatan senjata antara Pemerintah Sri Lanka dengan organisasi Tamil demi kesatuan Sri Lanka, maka keterlibatan India secara langsung dalam konflik itu terhenti. Bahkan akhirnya pasukan India pun ditarik mundur tanpa membawa hasil.
Dengan ditariknya pasukan India dari Sri Lanka, berarti bahwa pasukan Sri Lanka harus menghadapi sendiri gerilyawan Tamil. Konflik antara Pemerintah Sri Lanka dengan Macan Tamil ini diwarnai dengan gelombang perang dan gencatan senjata. Meskipun gencatan senjata disetujui, kaum gerilyawan secara sporadis menembaki asrama-asrama angkatan darat. Inilah yang menyebabkan sering gencatan senjata itu gagal dilaksanakan.
Setelah Pemerintah Sri Lanka mengerahkan kekuatannya untuk menggempur pasukan Macan Tamil secara besar-besaran, maka pertahanan Macan Tamil dapat dipatahkan. Namun Pemerintah belum berhasil menumpas seluruh kekuatan Macan Tamil. Hal inilah yang memungkinkan Pemerintah bertindak lebih keras dan makin diskriminatif.

Mudah-mudahan setelah pemberontakan Tamil dapat dipatahkan, pemerintah Sri Lanka tidak makin diskriminatif tapi justru makin sadar bahwa negerinya multirasial. Oleh karena itu pemerintah harus sadar pula bahwa kuncul penyelesaian konflik ada di pihaknya. Apabila pemerintah mau dan mampu memberikan keselamatan, hak dan aspirasi golongan minoritas di Sri Lanka, maka negeri itu dapat disatukan kembali. Namun, jika kelompok minoritas tidak mendapatkan perlindungan dan perhatian sebagaimana warga negara lainnya, maka Sri Lanka akan terus bergolak

Berikut adalah kronologinya:

1976:

Macan Pembebasan Tamil Eekam (LTTE) didirikan. Kelompok pembela etnis Tamil, yang minoritas di Sri Lanka, ini menuntut kemerdekaan.

1984-1986:
Gerilyawan Macan Tamil menangkap sejumlah pemimpin faksi yang menjadi rival dan membunuh mereka.

1987:
Pasukan Perdamaian India bentrok dengan gerilyawan Tamil setelah gagalnya sebuah upaya perdamaian.

1990:
Pasukan Perdamaian India meninggalkan Sri Lanka. Sulit tercipta perdamaian antara kedua pihak yang berseteru itu.

1991:
Macan Tamil membunuh Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Dunia gempar.

1993:
Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa dibunuh.

2002:
Macan Tamil menduduki dan menguasai wilayah utara Sri Lanka. Upaya perdamaian yang dicomblangi Norwegia kandas setelah Macan menolak berkompromi dan menuntut kemerdekaan penuh.

2004:
Seorang komandan gerilyawan macan Tamil, Kolonel Karuna, menyeberang ke pemerintah. Semua anak buah Karuna ikut membelot.

2005:
Macan Tamil mengimbau agar etnis Tamil memboikot pemilu yang dimenangi tokoh garis keras Mahinda Rajapaksa. Setahun kemudian (2006), Rajapaksa menyerukan perang total terhadap Macan Tamil. Lebih dari 70 ribu orang tewas terbunuh semenjak konflik senjata antara pemerintah dan Macan Tamil meletus pada 1983. [2]

KESIMPULAN

Bahwa sesungguhnya konflik yang terjadi Sri Lanka adalah merupakan suatu konflik rasial yang terjadi perselisihan suku. Antara suku Sinhala yang menjadi mayoritas di Negara tersebut yang juga menguasai pemerintahan dengan suku Tamil Eelam yang menjadi minoritas. Konflik ini sudah berlang sung selama bertahun-tahun dan belum ada titik temu. Program-program perdamaian yang di berikan pemerintah setempat maupun dari dunia internasional tidak berhasil dilaksanakan.

Norwegia menjadi penengah atau mediator untuk permaslahan yang terjadi di Sri Lanka tidak bisa berbuat apa-apa. Negara tersebut memberikan solusi bahwa kedua belah pihak harus melakukan gencatan senjata dan duduk bersama dalam suatu perundingan guna membahas konflik dan membicarakan penyelesaiannya. Akan tetapi hasilnya tidak memuaskan kedua belah pihak. Yang terjadi adalah masih adanya pertikaian antara gerombolan Macan Tamil dengan pihak Pemerintah.

Hal ini akan terus terjadi jika kedua belah pihak tidak segera mengakhiri pertikaian tersebut. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak saling mengutamakan kepentingannya masing-masing dan tidak ingin saling bekerjasama. Harusnya pemerintah Sri Lanka dapat memahami permasalahan yang ada dan tidak melakukan diskriminatif terhadap golongan minoritas.



[1] http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=197516&actmenu=39

[2] http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/25/Internasional/krn.20090325.160529.id.html