Powered By Blogger

Pengikut

Selasa, 29 September 2009

KASUS AMBALAT

Belakangan ini, perpolitikan Indonesia kembali "dimeriahkan" dengan perdebatan sikap tentang langkah yang perlu diambil terhadap negara asing, khususnya Malaysia. Hal itu disebabkan beberapa kapal perang asing, termasuk Malaysia berulang kali memasuki wilayah Indonesia seperti perairan Nunukan dan Pulau Ambalat, Kalimantan Timur serta sekitar Pulau Nipah, Kepulauan Riau (Kepri).
Permasalahan ini sudah terjadi sejak tahun 2005. Malaysia mengklaim secara sepihak atas wialyah peaiaran Ambalat yang disinyalir terdapat sumber daya alam berupa minyak bumi. Hal ini sudah diteliti oleh pihak Malaysia yang sudah mengadakan kerjasama atas pihak perusahaan asing yaitu Shell sebagai pihak yang mengeksplorasi daerah tersebut. Akan tetapi, hal itu di protes oleh pihak Indonesia, bahwa wilayah Ambalat adalah bagian dari wilayah Indonesia.
Masalah itu pun terus berlangsung hingga bulan Mei tahun 2009 yang belum bisa di selesaikan oleh kedua belah pihak. Kapal perang Malaysia yang sedang berpatroli di sekitar perbatasan dengan sengaja masuk ke perairan Indonesia yaitu Ambalat. Hal ini menimbulkan ketegangan diantara kedua belah pihak dan juga timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas) .
Hal ini sering terjadi di negara yang memiliki wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut.
Kalau kita lihat pada undang-undang negara kita, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Hal ini telah disebutkan pada Deklarasi Juanda tahun 1957 lalu diikuti oleh UU Prp No. 4/1960 tentang perairan Indonesia. Dilanjutkan pada perjuangan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja yang mengajukan konsep negara kepulauan ini ke Konferensi Hukum Laut PBB III . Sehingga dalam “The United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS), 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita . Akan tetapi hal ini tidak dapat digunakan oleh beberapa diplomat yang menjadi delegasi untuk perundingan sengketa Ambalat. Ini semua merupakan bukti yang kuat untuk menjadikan senjata memenangkan permasalahan Ambalat. Walaupun dalam UU No 6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia.
Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan . Ini merupakan suatu kekalahan diplomasi Indonesia pada kasus Sipadan dan Ligitan.
Ambalat jelas merupakan bagian dari Indonesia karena terletak didaerah bagian selatan Laut Sulawesi .Oleh karena itu, Indonesia perlu menentukan garis pangkal batas wilayahnya begitu juga dengan Malaysia. Hal ini harus dirundingkan oleh kedua negara dengan berlandaskan pada prinsip equitable solution yang sudah digariskan pada UNCLOS 1982 untuk menyelesaikan masalah Ambalat dan garis pangkal kedua negara.

Jumat, 25 September 2009

posmodernisme

POSMODERNISME

Jika kita baru pertama kali berhadapan dengan pemikiran posmodern akan menemui kesulitan. Pertama, istilah posmodernitas menciptakan beberapa kebingungan. Posmodernitas sering diartikan keliru dengan mengacu kepada suatu periode sejarah tertentu yang menggantikan modernitas. Kesalahpahaman ini ditambah lagi oleh fakta bahwa banyak pemikir postmodern pada umumnya memusatkan perhatian pada karakteristik masyarakat zaman modern akhir atau pos-industri. Kedua, posmodernisme sangatlah berbeda dan menentang atau menumbangkan banyak ide besar dalam teori Hubungan Internasional. Sehubungan hal tersebut, kesulitan yang ketiga terdapat dalam kompleksitas yang terkandung dalam karya posmodernisme. Kita perlu memiliki pemahaman yang cukup mutakhir tentang lembaga-lembaga politik, bentuk-bentuk organisasi social, dan praktik-praktik social yang identik dengan modernitas serta dasar filosofis pemikiran social dan politik modern guna memahami sepenuhnya kritik-kirtik postmodern terhadap HI. Terakhir, masalah definisi. Apa itu postmodern? Apakah posmodernisme sama seperti teori kritis? Apakah posmodernisme bersinonim dengan pos strukuralisme? Apa para sarjana posmodernisme mempunyai pendekatan tersendiri pada study mengenai perpolitikan dunia? Masalahnya adalah bahwa definisi yang sederhana tentang posmoderisme amatlah tidak mungkin.
Suatu langkah awal yang baik untuk memahami asal mula posmodernisme adalah gelombang radikalisme politik yang melanda dunia barat pada akhir 1960-an. Seperti halnya Teori Kritis, pos-Marxis yang lahir dari politik kiri baru (New Left), maka asala mula posmodernisme bisa dilihat dengan mengindentifikasi serangkaian kelompok yan tersingkir, seperti para mahasiswa aktifis, kelompok feminis, environmentalis, liberasionalis gay. Meski membela radikalisme politik, beberapa orang dikalangan Kiri tidak puas dengan terus berlanjutnya penekanan terhadap pentingnya kelas social dalam pergerakan politik Sayap Kiri. Mereka percaya bahwa penekanan ini mengesampingkan isu-isu lain, seperti diskriminasi ras atau gender. Selama periode akhir 1960-an kelompok feminis memusatkan perhatian pada represi hubungan social yang sebelumnya dianggap sebagai wilayah ‘pribadi’. Periode ini juga merupakan masa perjuangan para nasionalis menentang dominasi penjajahan dan liberalis, bersama beberapa masyarakat di beberapa bagian Asia, Amerika Latin, dan Afrika menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri atas nama ‘rakyat’, sementara kelompok-kelompok minoritas di negara-negara barat melaporkan penderitaan atas berbagai bentuk diskriminasi maupun ekslusi yang mereka alami dari masyarakat mayoritas.
Terlebih lagi, terdapat bahaya-bahaya yang sangat nyata dalam usaha untuk memahami politik feminisme, misalnya, atau gerakan-gerakan social baru, seperti pemerhati lingkungan, melalui kaca mata kelas ata perjuangan kelas. Politik oposisi atau radikal banyak sekali memasukkan berbagai bentuk perjuangan baru atas prakatik-praktik dominasi dan ekslusi. Pengalaman tentang persekusi-persekusi dan kekerasan politik yang menyebar luas di Uni Sovyet telah menghasilkan skeptisisme terhadap janji Marxisme telah menunjukkan perpecahan dan karakteristik kapitalisme eksploitatif serta menawarakan sebuah visi tentang masyarakat sosialis sebagai suatu ‘obat’ bagi penyakit-penyakit kontemporer. Beberapa orang Sayap Kiri mulai berpendapat bahwa dalam usaha mereka untuk menghasilkan dorongan bagi tersebar luasnya perubahan social, para pemikir Marxis telah ‘menguniversalkan’ kondisi-kondisi emansipasi manusia, dengan harga memarjinalkan dan membungkam sejumlah besar kelompok dan masyarakat.
Setelah secara luas membahas di spectrum politik sisi ‘Kiri’, kita harus menyadari bahwa posmodernisme telah dijelaskan sebagai pemikiran yang sangat konservatif. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kritik terhadap posmodernisme sering kali tidak beralasan. Bagaimanapun, bukanlah hal yang mudah untuk memahami posmodernisme dalam kerangka dikotomi yang sederhana, seperti kiri/kanan, radikal/konservatif. Inilah kesulitan lain yang layak dirundingkan oleh para mahasiswa.
Akhirnya, setelah memahami bahwa kaum posmodernisme mengungkapkan semacam keraguan terhadap ‘metanaratif’, seperti Marxism-dengan kata lain, bahwa para pemikir postmodern punya kesulitan untuk mempercayai semua teori atau penjelasan yang mencakup semua (all-encompassing), maka hal yang akan mengejutkan adalah jika kita menemukan kaum posmodernist yang mendukungb sebuah perspektif mengenai dunia yang terkesan komprehensif dan koheren atau visi besar (grand vision) mengenai Hubungan Internasional. Kaum posmodernis justru lebih cenderung terlibat dalam sebuah kritik terhadap proyek-proyek penyusun persepektif atas Hubungan Internasional dan lebih konsentrasi pada suatu yang terkesan lain, unik, dan tampaknya menatang bentuk-bentuk penteorian tyang tampakterlalu sempurna. Disisi lain, kaum posmodernis menyambut baik banyak munculnya sebagai perspektif dan pendekatan dalam HI selama dua decade terakhir. Jauh dari memandang hal ini sebagai sebua perkembangan yang melemahakan HI sebagai suatu ‘disiplin’ yang terpisah, para kaum posmodernis bependapat bahwa skeptisisme dan keidak pastian ditambahkan dengan pluralitas, pandanagan, visi-visi, dan pendapat mengenai dunia merupakan suatu tanggapan yang memang sepantasnya bagi dunia yang sangat komlplek.
Hal ini tidaklah berarti bahwa para sarjana postmodern dengan mudah menolak segala sesuatu sebagai bias, aneh, atu sebuah cerminan dari sebuah perspektif orang-orang berpengaruh. Kaum posmodernis juga bukan merupakan orang-orang yang sinis atau nihilis. Mereka tidak beda dari dengan orang pad umumnya, dalam arti bahwa mereka mempunyai nilai-nilai tertentu dan mungkin saja mendukung kode etika atau moral tertentu. Meski demikian, kaum posmodernis berbeda dengan dari kaum liberal atau para pemikir kritis karena kaum postmodern lebih cenderung mengakui bahwa pada dasarnya tidak mungkin ada landasan yang kukuh atau sumber argumen yang paling mutakhir apapun, yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan ‘kebenaran’ (rightness) atau ‘kesalahan’ (wrongness) system-sistem nilai, kepercayaan-kepercayaan atau pandangan-pandangan dunia tertentu. Mereka tidak pernah mengaku mempunyai suatu pemahaman untuk ditawarkan mengenai ‘kebenaran’ akan kondisi manusia atau nilai kebajikan dan keburukan yang terkandung dalam tindakan atau kejadian tertentu.
Bagaimanapun, rasanya kita terlalu cepat sampai disini. Kita akan kembali pada kritik kaum posmodernis tentang perspektif-perspektif yang telah mapan atau cerita tentang HI, dan pernyataan mereka atas nilai pluralisme dan keberagaman ini nanti.
Dari perspektif postmodern, study tentang perpolitikan dunia merupakan sebuah istilah yang lebih sering dipaki daripada Hubungan Internasional karena beberapa alasan yang dijelaskan pada beberapa poin dibawah ini.

(1) studi ini menghubungkan tentang serangkaian besar proses-proses, isu-isu, dan kelompok-kelompok;
(2) menyelidiki cara-cara penerapan kekuasaan dalam wacana-wacana dan praktik-praktik perpolitikan dunia;
(3) memetakan berbagai ragam cara pengkonstruksian dan penggunaan ruang politik oleh individu-individu dan kelompok-kelompok;
(4) menguraikan proses-proses yang kompleks dalam pengkonstruksian identitas-identitas politik;
(5) mengakui perbedaan-perbedaan keberagaman diantara beragam orang dan lintas budaya;
(6) mendorong penyebarluasan berbagai pendekatan dan pandangan dunia karena hal ini akan berakibat penggantian atau kelemahan bentuk-bentuk pengetahuan yang ‘ortodoks’ dan kekuasaan yang hegemonic;
(7) menyoroti isu-isu atau masalah-masalah yang sering kali dianggap remeh atau tidak penting guan mengekspresikan atau mengembalikan kepercayaan diri orang atau kelompok-kelompok yang telah dimarjinalkan dalam studi HI

Kajian yang bernama ‘posmodern’ ini telah memberi sumbangan penting pada Hubungan Internasional sejak awal 1980-an. Meski demikian asal usul intelektual posmodernisme diperkirakan telah ada jauh sebelum periode tersebut. Serangkaian pemikir telah memberikan pengaruh dan inspirasi bagi para sarjana postmodern kontemporer. Pada bagia ini kiat hanya berfokus pad aide-ide empat orang tokoh-Nietzsche, Heidegger, Foccault, dan Derida.
Studi mengenai posmodernisme akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dalam pengertian kritik terhadap modernitas dan proyek Enlightment. Filsuf Jerman, Martin Heidegger, mengembangkan sebuah kritik tentang Enlightment yang cukup mempengaruhi pemikiran postmodern kontemporer. Kai tidak akan mengupas ide-ide Heidegger secara rinci disini; tetapi menjabarkan secara umum kritik postmodern yang dikembangkannya.
Tentunya, seseorang mungkin berpikir bahwa jika modernitas dan Enlightment dibangun dalam sebuah visi tentang harapan untuk masa depan umat manusia, jadi mengapa kaum posmodernis menjadikan ide-ide ini sebagai sasaran kritik? Kritikm terhadap proyek Enlightment ini sebagian merupakan konsekuensinya dari kebangkitan fasisme pada 1930-an yang menjatuhkan Eropa kedalam zman kegelapan baru yang ditandai oleh perang, kehancuran, dan berbagai tindakan mengerikan lainnya seperti kekejaman barbarisme.
Pengalaman tentang sebuah bangsa modern yang sepertinya rela tunduk pada ‘kehendak kuat’ sang Fuhrer demi kejayaan ras Arya—pembantaian-pembatain perang semacam itu berlangsung juga di daerah Kerch di Crimea (sebuah republik otonom dibawah otoritas Ukraina) dan kamp-kamp kematian di Nazi di Auswitch dan Belzec—terlihat seolah-olah bertolak belakang dengan ide-ide tentang sejarah berbagai kemajuan menghasilkan keraguan tentang klaim-klaim Barat yang atas kemajuan dan peradaban. Pada masa kini, bayangan perang nuklir degradasi lingkungan hidup, serta tersebar luasnya perasaan teralienasi dan keputusasaan, yang seolah-olah terlihat mewabah dalam masyarakat-masyarakat kapitalis yang maju, telah menambah kritik-kritik lebih lanjut terhadap Barat yang dianggap sebagai pusat kemajuan.
Para pemikir posmodern banyak merujuk pada karya filsuf Perancis Michael Foucault. Oleh karena karya Foucault cukup luas, di sini kita akan berfokus hanya pada beberapa ide pokok – pandangan Foucault tentang relasi kekuasaan / pengetahuan, ide-idenya tentang wacana dan konsepsinya tentang manusia, atau subjek. Mengikuti Nietzsche, Foucault mengembangkan ide bahwa kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan ini adalah bahwa tidak ada ‘kebenaran’ yang tidak diperdebatkan mengenai ‘karakteristik’ manusia atau kehidupan manusia. Setiap hal yang kita pikir kita ‘tahu’ dengan pasti hanyalah merupakan sebuah ekspresi model-model pemikiran atau penjelasan dominan. Kita ‘tahu’ karena kita percaya bahwa hal itu benar. Kita percaya bahwa hal itu benar karena kita belajar di sekolah, diceritakan oleh para ilmuwan, para pakar teknis, birokrat, dan elit pembuat kebijakan. Oleh karena masyarakat selalu di organisasi dalam kerangka hierarki dan kesenjangan, kita tidak bisa begitu saja menerima bahwa sesuatu yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’ bersifat bebas dari kepentingan dan nentral. Orang yang berkuasa dalam masyarakat berada ada posisi sangat lebih baik, sehingga pandangan-pandangan mereka di terima sebagai ‘kebenaran’, dan mampu mengenyahkan atau mengucilkan pandangan-pandangan alternatif. Tentu saja, fakta bahwa kita sering kali membuat suatu pemisahan antara kanon-kanon ‘pengetahuan’ yagn diajarkan kepda kita di sekolah-sekolah dan universitas-universitas dan mitos-mitos, cerita-cerita, narasi-narasai, serta ‘pemahaman umum’ yang diturunkan dalam keluarga dan komunitas-komunitas local, merupakan sebuah konsekuensi dari modernitas dan Enlightenment. Penolakan dari tradisi, mitos, dan takhayul, sejalan dengan penguatan sebuah kelas penguasa baru dari laki-laki bojuis yang menggunakan ‘pengetahuan’ untuk melanggengkan posisi istimewa mereka.
Foucault berpendapat bawa tidak ada bentuk pengetahuan yang benar-benar murni. Semua pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut pandang tertentu. Berkaitan denga hal ini, para pemikir postmodern berbagi beberapa persaman mendasar dengan para pemikir kritis dari tradisi Marxisme. Meski demikian, para pemikir kritis menyatakan bahwa melalui dialog yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan, kita mungkin sedikitnya sampai pada suatu jenis ‘kebenaran’, meskipun selalu terbuka terhadap munculnya bentuk-bentuk penolakan. Para pemikir posmodernis, di sisi lain, berpendapat bahwa poyek semacam itu hanya akan mengantikan hegemoni dari salah satu ‘ke-ortodoks-an’ dengan yang lainnya. Kita tidak pernah bebas dari relasi penting (nexus) antara ekkuasaan / pengetahuan – hubungan tersebut memenuhi semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Pengetahuan, dengan demikian, mensyaratkan relasi kuasa, sehinga kita terus menerapkan sikap skeptisisme dan kritik. Dari sudut pandang postmodern, kapanpun kita dihadapkan dengan suatu ‘cerita’ tentang dunia. Maka kita harus bertanya : siapa yang berkuasa? Bagaimana kekuasaan dijalankan? Untuk tujuan apa? Bagaimana susunan-susunan tertentu hubungan kekuasaan bisa memengaruhi pandangan ini?
Menurut Foucault, ide tentang subjek manusia yang otonom dan rasional juga merupakan sebuah fiksi. Dalam karya sebelumnya, Foucault memberikan pandangannya mengenai subjek manusia dalam analogi sebuah badan, suatu bejana kosong, sebuah produk dari relasi kekuasaan yang di dalamnya kita semua dijadikan sasaran sepanjang hidup kita – dalam hubungan seksual, dalam keluarga, di sekolah, melalui pengaruh media dan komunikasi, melalui wajib militer, melalui peraturan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh polisi dan pengadilan, melalui disiplin yang diterapkan di tempat kerja, dan sebagainya. Tak heran, pandangan tentang subjek manusia ini telah dikritik sebagai anti kemanusiaan dan sangat pesimistik. Jika kita hanya menjadi produk dari disiplin dan hukuman, maka bagai mana kita pernah kita bisa bebas? Pada akhir hidupnya, Foucault sedikit mengubah pandangan-pandangannya. Tentunya kebanyakan kaum posmodernis kontemporer mengakui kapasitas untuk melakukan perlawanan dan pemberdayaan. Jika bukan seperti itu keadaannya, kita tidak akan menemukan contoh-contoh yang bertentangan atau persepektif-perspektif dan ‘cerita-cerita’ yang berbeda-beda tentang dunia. Tentu saja kaum posmodernis melihat sesuatu yang bernilai dalam keragaman pendekatan-pendekatan dan perspektif-perspektif dalam politik dunia bukan karena secara bersamaan mereka menambah simpanan pengetahuan kita dan membawa kita lebih dekat pada kebenaran, tetapi karena membuat kita bisa melihat dunia melalui kacamata yang berbeda-beda, yang memungkinkan kita untuk mendengar beragam pendapat yang mengungkapkan berbagai isu dan masalah, sehingga melemahkan klaim-klaim kebenaran dari berbagai pandangan dunia yang ortodok atau hegemonik.