Powered By Blogger

Pengikut

Minggu, 23 Agustus 2009

FAKTOR PENDORONG KERJASAMA EKONOMI ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CHINA 2001-2005

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pada tahun 1975 Amerika Serikat keluar dari Vietnam dan adanya doktrin Nixon yang memaksa Negara-negara Asia untuk mengurus keamanannya sendiri. Sampai ada pertengahan dasa warsa 1980an AS dan banyak Negara industri maju lain mengalami resesi ekonomi berkepanjangan. Dua peristiwa ini tercermin dalam perubahan kebijakan Negara-negara industry maju dalam memberi bantuan. Warna geopolitik semakin mengabur, warna geoekonomi semakin tegas. Negara-negara maju baik secara bilateral maupun lembaga-lembaga multilateral didominasinya semakin menegaskan peran pasar sebagai mekanisme alokasi sumber daya ekonomi dengan aturan main liberal.
Perubahan geopolitik dan geoekonomi China dan AS pada dasarnya merupakan suatu proses transisi kekuatan suatu Negara yang awalnya menggunakan kekuatan politik dan militer unuk mencapai tujuan kepentingan nasional suatu Negara khususnya ekonomi. Seiring dengan perkembangan globalisasi kekuatan geopolitik semakin memudar dan berganti dengan kekuatan geoekonomi yang mendominasi kekuatan China dan AS melalui hubungan kerjasama dibidang ekonomi.
Hubungan kerjsama ini tidak lepas dari politik luar negeri AS pada masa perang dingin melihat komunisme sebagai ancaman utama, diamasa Reagan dan Bush senior kedua pemimpin tersebut kurang menjalin hubungan kerjasama ekonomi dengan China disebabkan defisit perdagangan AS pada tahun 1980 dari $ 74 miliyar Dollar AS melonjak menjadi $ 221 milyar Dollar AS pada tahun 1986 akhirnya turun lagi menjadi $150 miliyar Dollar AS pada tahun 1987 karena partai Demokrat dan partai Republik di kongres menolak mengurangi belanja pemerintah dan pelanggaran HAM yang dilakukan China pada krisis selat Taiwan serta peristiwa Tiananmen tepatnya 1989.
Selama pemerintahan Pemerintahan Bill Clinton di tahun 1993, ada perubahan dalam menerapkan geopolitik dan geoekonomi dari pembendungan (containment policy) menjadi realistis (realistic engangement) dengan haluan (grand strategy) yang bertujuan menciptakan suatu masyarakat dunia yang bebas dan komunitas ekonomi pasar yang demokratis. Strategi memfokuskan empat poin utama. Pertama memperkuat komunitas pasar yang demokratis. Kedua mendukung dan mengkonsolidasi system demokrasi dan ekonomi pasar bebas dimana saja. Ketiga menangkal setiap bentuk perlawanan terhadap system demokrasi dan mendukung proses liberalisasi di Negara-negara yang memusuhi system demokrasi. Keempat membantu proses demokratisasi dan system ekonomi pasar bebas dinegara-negara atau wilayah-wilayah di dunia yang menghiraukan terhadap permasalahan kemanusian.
Sebagai langkah awal, strategi perluasan didukung oleh suatu pandangan yang bersifat ekonomi sentries. Artinya hanya ditujukan kepada Negara-negara yang siap dengan kelompok kelas menengahnya yang kuat, yang diyakini mampu menjadi Negara demokratis, mengadopsi nilai-nilai barat untuk mengeliminasi perbedaan-perbedaan etnis, memberikan perlindungan terhadap hak warga negaranya dan bekerjasama dengan masyarakat internasional untuk memerangi terorisme. Sehingga secara operasional strategi perluasan di sepakati untuk mulai menerapkan kepada Negara-negara yang sudah siap untuk open market democracies atau demokrasi pasar terbuka seperti Negara-negara Eropa Tengah, Eropa Timur dan Asia Pasifik.
Terhadap Negara-negara Asia AS memahami bahwa di wilayah ini cara pandang terhadap konstitusi demokratis sangat berbeda, lebih menekankan hak kolektif dari pada hak individual. Oleh karena itu operasionalisasi dari enlargement policy pada periode pertama kepemimpinan Clinton cenderung mencari akses untuk menciptakan pasar bebas, daripada mempromosikan demokrasi dan nilai-nilai barat. Hal ini ditujukan melalui sikap moderat AS dalam masalah demokratisasi dan HAM terhadap China dan Negara-negara Asia Pasifik lainnya.
Perdagangan bebas merupakan geoekonomi yang ingin dicapai AS dalam membina hubungan baik secara bilateral maupun multilateral. Untuk mencapai ini pemerintahan Clinton gencar melakukan diplomasi pasar terbuka di segala penjuru dunia, dimana hal itu memungkinkan dan menguntungkan. Antara 1993-1996 misalnya AS berhasil membuat lebih dari 200 perjanjian baru untuk perdagangan bebas. Hal tersebut sekaligus menciptakan kurang lebih 1,6 juta lapangan kerja baru didalam negeri AS. Untuk hal ini prinsip yang di pegang oleh pemerintahan Clinton adalah membantu mensukseskan ekonomi pasar terbuka kemudian beranjak dari bantuan menuju perdagangan dan investasi.
Sedangkan pada masa kepemimpinan Bush tahun 2000 kinerja politik luar negerinya pada tahun pertama meneruskan kebijakan dari presiden sebelumnya yakni Bill Clinton, awalnya kemampuan Bush kurang begitu terlihat dalam memimpin AS. Namun sejak peristiwa 11 September 2001 WTC menghancurkan asset ekonomi AS, kebijakan luar negeri Bush beralih pada isu-isu internasional terutama fokusnya pada terorisme yang telah mengancam keamanan nasional dan internasional.
Bagi perekonomian AS hal ini tentu saja mengkhawatirkan sebab ancaman depresi ekonomi dengan sendirinya muncul sementara AS selama ini banyak menggantungkan investasi-investasi dari luar negeri dalam hal ini sumber daya alam bagi industri AS berasal dari dari Negara-negara lain. Dengan kondisi keamanan AS tentu Negara-negara tersebut befikir kembali untuk mengadakan kerjsama dengan AS sebab ketakutan investor akan terjadinya peristiwa serupa dapat menghentikan pemasukan investasi mereka.
Adanya perbedaan poltik luar negeri yang diterapkan Bill Clinton dengan Bush adalah kalau Bill Clinton memasukan Negara-negara Asia dalam setiap kebijakannya dan menjalin hubungan yang harmonis terutama di bidang perdagangan serta liberalisasi demi terwujdnya kepentingan-kepentingan AS sedangkan Bush lebih memfokuskan diri dalam menjalin hubungan dengan Negara-negara Eropa sebab pasca 11 september 2001 AS memerlukan dukungan dari Negara-negara yang memiliki pengaruh besar dan kekuatan militer guna memberantas terorisme dengan bekerjasama demi terwujudnya perdamaian dunia. Dengan adanya penurunan ekonomi AS membuat turunnya kepopuleran Bush dimata publik AS.
Gedung putih memberikan kebijakan pengurangan pajak supaya kepopuleran Bush tetap terjaga. Namun sebaliknya pengurangan pendapatan Negara dari pajak justru memicu protes dari para pendukung pelayanan sosial, kesehatan dan pendidikan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan Bush untuk memulihkan resesi ekonomi hasinya belum dapat dirasakan oleh masyarakat AS. Akibat WTC dan pengeluaran dana berlebihan untuk menanggulangi terorisme mengakibatkan penurunan pendapatan perekonomian AS.
Krisis globalisasi, neoliberalisme, legitimasi kapitalis dan over produksi yang saling berpautan menawarkan kebijakan ekonomi pemerintahan Bush yang mengarah ke unilateralisme. Adapun elemen-elemen kebijakan ekonomi Amerika Serikat sebagai berikut :

1. Mengadakan kontrol atas minyak Timur Tengah
2. Perlindungan yang agresif dalam masalah investasi dan perdagangan
3. Memasukan pertimbangan-pertimbangan strategis dalam perjanjian dagang
4. Manipulasi nilai tukar dollar untuk mematok biaya krisis ekonomi terhadap rival-rival dikalangan Negara-negara yang kuat ekonominya dan meraih kembali tingkat kompetisi bagi Amerika Serikat
5. Manipulasi yang agresif terhadap agen-agen multilateral untuk mendorong kepentingan modal Amerika Serikat
6. Meminta Negara-negara lain yang kuat ekonominya dan Negara-negara berkembang untuk menanggung beban penyelesaiannya krisis lingkungan.

Hasil kebijakan Bush ini harus mempertimbangkan keadaan ekonomi global Amerika Serikat dan agar tidak terjadi benturan kepentingan antara Negara-negara partner kerjasama . sehingga diperlukan balance of power guna menekan hegemony AS agar tidak berkembang sampai Asia Pasifik khususnya China.


PERUMUSAN MASALAH

Dilihat dari latar belakangnya, adanya faktor yang menjadikan perdagangan antar kedua manjadi meninggkat. Sinyal-sinyal yang diberikan Amerika Serikat kepada China dapat memberikan angin segar bagi perekonomian kedua belah pihak. Oleh karena itu timbul suatu pertanyaan, apakah yang menjadi faktor pendorong kerjasama ekonomi antara AMERIKA SERIKAT dan CHINA 2001-2005?





KERANGKA TEORI

Dalam kerangka teori ini menggunakan pemikiran K.J Holsti tentang kebijakan luar negeri. Salah satu tujuan penting dari kebijakan luar negari suatu Negara dalam menjamin kepentingan nasionalnya adalah bahwa kepentingan nasional suatu Negara harus seimbang dengan kapabilitasnya. Dalam pencapaian kepentingan nasional, suatu Negara bukan hanya menyadari kepentingannya sendiri, tapi juga harus menyadari kepentingan nasional Negara-negara lain. Holsti merumuskan pengertian kepentingan nasional, cita-cita atau tujuan bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan Negara lain. Hubungan tersebut bias berupa interaksi bilateral sedangkan jika lebih dari dua Negara disebut dengan interaksi multilateral. Hubungan kerjasama yang kooperatif biasanya dikenal dengan kerjasama bilateral merupakan manifestasi pencapaian kepentingan bersama antara kedua pihak yang bersifat khusus.
Kondisi semacam ini didasari oleh 4 landasan yaitu:

a) Memiliki kesamaan kepentingan, tujuan dan kebutuhan Negara.
b) Pembagian biaya, resiko,beban dan penghargaan yang pantas antara kedua Negara yang bekerja sama.
c) Percaya bahwa komitmen yang sudah di sepakati dapat dipenuhi.kecil kemungkinannya untuk gagal.
d) Memiliki reputasi yang baik dalam memberikan suatu hubungan timbal-balik

Peningkatan ekspor ke Cina ke Amerika Serikat tidak terlepas dari kerjasama dalam bentuk perdagangan bebas diantara kedua Negara. Perdagangan mempunyai definisi proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menentukan pertukaran tersebut. Perdagangan selalu menguntungkan masing-masing pihak (atau setidak-tidaknya tidak merugikan salah satu pihak), sebab kalau tidak demikian perdagangan tidak terjadi.




BAB II

PEMBAHASAN

Pada bulan Februari 1972 kunjungan Presiden Nixon ke Beijing untuk memperbaiki hubungannya dengan China sekaligus bersama-sama menghadapi Uni Soviet. Namun, normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan China itu baru dilakukan 1 Januari 1979. Keputusan normalisasi itu diambil Presiden Jimmy Carter, setelah kunjungan ketua dewan keamanan nasional (NSC-National Security Council) Zbigniew Brzezinski ke Beijing bulan Mei 1978. Hubungan itu memberikan banyak keuntungan bagi China,antara lain meningkatnya perdagangan, partisipasi damai dalam keseimbangan regional dan global serta mencegah ancaman agresi Uni Soviet. Dalam invasi China ke Vietnam tahun 1979, AS bereaksi diam, hal ini menunjukkan bahwa Washington mau menerima peran China yang independen dalam keseimbangan regional.
Tahun 1978 hubungan direalisasikan dengan pengiriman ratusan ribu warga Cina ke AS dan Eropa untuk mendalami fondasi perekonomian pasar. Lalu pada 1979, China memutuskan meliberalisasi sector keuangan dengan memanfaatkan kehadiran bank. Dana pembangunan yang sebelumnya mengandalkan alokasi anggaran pemerintah, mulai diserahkan ke lembaga perbankan, yang juga bagian dari pengenalan kepada mekanisme pasar yang relative lebih efektif mengenai alokasi kredit.
Saat itu pula perbaikan ekonomi China semakin tergantung pada Amerika Serikat. Amerika Serikat menjadi mitra dagang ketiga China setelah Jepang dan Hongkong. Kemudian hubungan itu berkembang di tahun 1986, dimana Amerika Serikat menyetujui penyediaan energi dan teknologi nuklir untuk pembangunan industry listrik di China. Di samping itu AS tetap mengawasi pengembangan teknologi nuklir karena khawatir jika teknologi nuklir tersebut digunakan untuk pengembangan senjata militer atau senjata nuklir yang sebaliknya mengancam AS sendiri sebagai super power.
Seiring dengan perbaikan ekonomi dan politik China di akhir 1980-an terjadi peristiwa Tiananmen 4 Juni 1989 yaitu peristiwa pembantaian terhadap para demonstran di antaranya mahasiswa dan rakyat sipil yang dilakukan oleh TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) membuat dunia internasional mengecam keras China dalam pelaksanaan HAM dan demokratisasi. Kecaman dunia internasional terhadap China direalisasikan penerapan sanksi dan pembekuan hubungan diplomatic. AS menerapkan sanksi kepada China dengan menghentikan pertukaran pejabat tingkat tinggi antar kedua Negara.
Pasca Tiananmen AS mengupayakan pendekatan bilateral kepada China sejak Oktober 1983 dengan melakukan kunjungan Menham William J. Perry dan juga pejabat Pentagon guna memberi penjelasan mengenai Tentara Pembebasan Rakyat China yang telah terlibat dalam peristiwa Tiananmen. Upaya ini dianggap sebagai niat baik untuk mengembangkan transparansi, perbaikan hubungan dengan China yang merupakan kebijakan strategis AS dan memajukan demokrasi serta HAM di Asia Pasifik.
Pada 26 Maret 1997 Wapres Al Gore melakukan kunjungan ke China serta berhasil mengajak Beijing menandatangani kontrak dagang senilai 2,2 miliar dollar AS, dengan perusahaan-perusahaan Amerika, Boeing, dan General Motors. Wapres Al Gore dan PM Li Peng juga akan menandatangani perjanjian politik lain, yakni sepakat mempertahankan kehadiran konsulat AS di Hongkong setelah kota Hongkong dikembalikan kepada Beijing tanggal 1 Juli 1997. Tujuan utama kunjungan Wapres Al Gore ialah untuk mempersiapkan rencana kunjungan Presiden Bill Clinton dengan Presiden Jiang Zemin guna meningkatkan hubungan kerjasama yang selama ini kurang harmonis. Hubungan kedua Negara ini meskipun pernah mengalami pasang surut setidaknya dapat mempengaruhi kestabilan dan kesejahteraan kawasan Asia Pasifik.
Bagi China, pengembalian Hongkong kepada China 1 Juli 1997 memiliki arti politis tersendiri, yakni untuk mempertahankan kedaulatan nasional China. Di samping itu Hongkong sebagai tempat usaha 1200 perusahaan AS dengan nilai investasi lebih dari 15 miliar dollar AS dan tempat berlabuhnya kapal-kapal AS yang sedang berlayar ke Asia Pasifik menjadikan China sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketiga setelah AS dan Jepang.
Pada April 1999 PM Zhu Rongji melawat ke AS untuk memberikan Konsesi Besar dalam berunding dengan Bill Clinton tetapi PM Zhu tidak berhasil karena AS menuntut lebih banyak. Kemudian diikuti peristiwa pengeboman Kedutaan Besar China di Belgarado pada Mei 1999 mengakibatkan krisi hubungan diplomatic China dan Amerika Serikat. Pada bulan Juni dan Juli Jiang Zemin berusaha bernegosiasi guna pemulihan hubungan diplomatic antara kedua Negara agar China mendapatkan dukungan dari AS untuk masuk menjadi anggota WTO.
Berdasarkan negosiasi dagang bilateral yang telah dicapai pada 15 November 1999 dan faktor kondisi politik dalam negeri, militer, ekonomi, dan kontek internasional, maka Bill Clinton bersedia mendukung penuh keanggotaan RRC di WTO. Awal November 2001 China resmi menjadi anggota WTO dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2002, maka saat itu pula dimulai tahap baru bagi China dalam percaturan perdagangan dan investasi internasional.
Meskipun diakui bahwa hubungan AS-China memburuk ketika sebuah pesawat militer AS mengadakan perjalanan ke Pulau Hainan pada bulan April 2001, namun Powell menyatakan bahwa hubungan AS-China sekarang adalah yang terbaik sejak Presiden Nixon mengunjungi Beijing tahun 1971. Ini bukan karena peristiwa 11 September 2001 yang perlu diubah, akan tetapi juga karena AS menjadi sponsor China menjadi anggota WTO. AS tidak pernah mengingkari penyalahgunaan HAM oleh China. China masih belum mau membawa kesetaraan antara reformasi ekonomi dan reformasi politik. Oleh karena itu AS mengajak China supaya membawa kesetaraan antara reformasi dan politik guna hubungan kerjasama yang dinamis serta mengurangi pelanggaran HAM yang sering terjadi di China.
Pada 16 November 2005, kunjungan Presiden AS George Bush ke Beijing dalam rangka memberikan pendapat atas masalah-masalah besar seperti surplus dagang China yang tinggi, nilai mata uang China dan hak-hak property intelektual. Sementara Bush menyerukan China agar memiliki kebebasan politik dan agama lebih besar yang menjadi berita besar di luar negeri sedangkan di media China tidak ada laporan mengenai itu. Pertemuan dilangsungkan di tengah perseteruan soal impor pakaian murah dari China ke pasar Amerika Serikat.
Dalam kunjungan ini Presiden Bush dan Hu Jintao pada 20 November 2005 akhirnya mencapai persetujuan Boeing dengan menyeimbangkan perdagangan antara kedua Negara, pemimpin China menjanjikan untuk melanjutkan usaha mencapai nilai mata uang dengan nilai pasar, dan menghentikan tindakan pembajakan berbagai produk yang merugikan pengusaha AS miliaran dollar serta China akan membeli 70 pesawat Boeing dari AS. Pembelian pesawat itu merupakan usaha mengurangi frustasi Amerika Serikat atas surplus perdagangan China yang diperkirakan mencapai 200 miliar dollar AS.
Dengan berakhirnya Perang Dingin terdapat perubahan politik luar negeri Amerika Serikat khususnya dalam hal kepentingan nasional dengan berkembangnya nilai-nilai demokrasi, HAM, hak menentukan nasib sendiri dan pertumbuhan ekonomi. Perdamaian, kebebasan, dan kesejahteraan dunia merupakan focus dari politik luar negeri Presiden Clinton dan Presiden Bush. Seperti halnya China memfokuskan kebijakan perekonomiannya dengan membuka kebijakan industrialisasi bagi investasi asing, meningkatkan hubungan dagang dengan AS melalui peningkatan ekspor, perluasan pasar serta peran swasta yang semakin luas, menjadikan peluang hubungan kerjasama antara AS dengan China lebih harmonis dibandingkan pada masa Perang Dingin.
Meskipun Amerika Serikat merupakan Negara super power, namun pada kenyataannya Amerika Serikat tidak mampu mendominasi Negara lain karena system hegemoni Amerika Serikat pada pasca Perang Dingin sudah mulai longgar. Sehingga China di akhir Perang Dingin muncul sebagai raksasa ekonomi yang semakin mengancam kedudukan ekonomi AS. Tetapi pada kenyataannya China dan Negara-negara berkembang masih bergantung pada AS mengenai masalah keamanan pertahanan, dan politik.





BAB III

KESIMPULAN

Perubahan situsai internasional pasca Perang Dingin membuat China membuka diri dalam perekonomian dan modernsiasi negaranya mealui kerjasama dengan AS.kerjasama AS diperlukan China sebagai peluang investasi asing, sebagai pansa pasar dari produk China, dan membangun pengaruh di kawasan Asia Pasifik . berakhirnya Perang Dingin membuka peluang yang lebih besar bagi perluasan dan peningkatan peran negara-negara besar. Perluasan dan peningkatan dengan sendirinya merubah tatanan kekuatan di kawasan Asia Pasifik. Munculnya China sebagai negara besar Asia akan menjadi kekuatan dominan menggantikan AS dan uni soviet dikawasn Asia Pasifik.
Munculnya ekonomi sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia Pasifik tidak lepas dari peran pemimpin yang dituangkan dalam kebijakan politik dan ekonominya. Dibawah kepemimpina Deng Xiaoping telah membawa China dalam perubahan ekonomi dalam mencanangkan reformasi ekonomi di segala bidang dan dikenal sebagai ekonomi pasar sosialis China serta direalisasikan dengan Pembentukan Zona Ekonomi Khusus (Spesial Economic Zone atau SEZs) yakni membuka 14 kota pantai. Reformasi China menitikberatkan perhatian pada sektor pembangunan ekonomi dengan program revitalisasi ekonomi domestik dan membuka diri bagi piehak luar demi mendukung kepentingan nasional China serta kebijakan industrialisasi dengan pengaturan kembali PMA sehingga lebih padat modal, mempercepat alih teknologi dan lebih berorientasi ke ekspor . dalam penerapan reformasi ini, peran pemerintah digantikan oleh pasar yang lebih luas dan terbuka.
Akibat keberhasilan China dalam perekonomian yang ditandai dengan naiknya pertumbuhan ekonomi secara bertahap, membuat AS ingin mendekatkan diri dengan China memlaui kerjasama. Kemudian hubungan kerjasama. Kemudian hubungan kerjasama antara AS denganChina pasca Tiananmen di tahun 1997 merupkana langkah awal dari hubungan kedua negara yang sebelumnya hubungan tersebut mengalami pasang surut masalah ekonomi dan politik. Hubungan kerjasama tersebut telah berlanjut sampai pada tahun 2005 dengan ditandatangani kesepakatan dagang AS dan China dalam persetujuan Boeing..
Peningkatan hubungan perdagangan juga dilakukan dengan ekspor Cina ke AS yang terus meningkat pasca krisis ekonomi disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi sebagai lahan investasi bagi Amerika Serikat karena ketersediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas tinggi baik modal, teknologi, kualitas tenaga kerja, bahan mentah dan upah buruh yang murah maupun daerah investasi yang sangat strategis serta globalisasi menciptakan kompetisi yang sangat ketat untuk mempromosikan ekspor dan menarik berbagai ragam investasi dalam skala internasional. Hal ini secara langsung Cina mendapatkan keuntungan komparatif advantage dari hubungan ekspor Cina ke AS.
Kebijakan industrialisasi di mana pemerintahan Hu Jintau juga berdampak pada peningkatan ekspor Cina ke AS ditandai dengan aliran investasi asing atau FDI, kuatnya teknologi dalam negeri Cina dengan menggunakan transfer teknologi, dan pertumbuhan ekonomi Cina begitu pesat memberi peluang pada masyarakat swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi tanpa campur tangan dari pemerintah, serta permintaan konsumen dalam negeri AS guna pemenuhan kebutuhannya lebih murah mengimpor komoditas dari Cina.
Pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat sebagai akibat dari peningkatan ekspor Cina ke AS telah membuktikan pengaruh dari reformasi ekonomi oleh Deng Xiao Ping pada tahun 1978 dengan keberhasilan system ekonomi pasar sosialisnya. Kekuatan perekonomian Cina telah membawa ekspansi Cina pada negara-negara Asia dan menimbulkan rasa kekhawatiran AS dan Negara-negara maju maupun negara berkembang lainnya. Ekspansi ini telah membuka peluang pasar global bagi negara-negara maju dan berkembang supaya dapat bersaing di era globalisasi ini.
Kerjasama AS dengan China juga terealisasi dengan masuknya Cina dalam keanggotaan WTO di tahun 2001. Dengan keanggotaan Cina di WTO berhak menentukan untuk melakukan reformasi sesuai dengan peranannya dalam masyarakat internasional, mulai dari perbaikan jangkauan pasar (penurunan biaya masuk atas produk manufaktur dari luar, distribusi dan sebagainya) serta penerapan hak intelektual demi peningkatan daya saing Cina. Hal itu juga memberikan kesempatan bagi Cina dan Negara Asia Pasifik serta AS agar ikut berperan aktif dalam kegiatan perdagangan internasional yang memberikan kontribusi bersama. Di samping itu, kerjasama dengan WTO juga mempercepat dan melancarkan penyesuaian struktur ekonomi, pertanian dan industry dengan perdagangan internasional.
Dalama hal ini juga permasalahan ideologi juga salah satu faktor yang menjadi pemicu akan meningkatnya hubungan dagang AS dan China. Isu-isu konvensional bukan lagi menjadi penghambat dalam era pasca perang dingin akan tetapi sudah bergeser ke arah non konvensional.

Bob Sugeng Hadiwinata, Politik bisnis internasional, Kanisius, Yogyakarta,2002,hal 9
Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika, Jakarta, Deplu AS , 2004 hal 420
Kompas 30 Juli 1997
Ibid
Walden Bello, “krisis proyek globalis dan ekonomi George W Bush”, The fall issue of new labour forum, Berlin 2002 hal 5
K.J.HOLSTI,International Politics: A Frame Work For Analysis,(University of British, Columbia,1993),hal 89
Boediono, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 3 : Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001, hal.10 dan 16.
James NB Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan Yang Mempengaruhinya Pendekatan Politik dan Keamanan, PT Grasindo, Jakarta, 1998, hal. 95-96
Suara Pembaharuan, 22 Desember 1996
Kompas, 26 Maret 1997
Bagas Hapsoro, Bagaimana Lengser dari Irak Tanpa Kehilangan Muka: Catatan Untuk Amerika dalam Hubungan Internasional Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.195
“Bush Tinggalkan China Dengan Sedikit Keuntungan”, dalam http://www.bbcindonesia.com diakses tanggal 10 Agustus 2009
“Bush Mendesak Kebebasan Lebih Besar Dari China”, dalam http://www.bbcindonesia.com diakses tanggal 10 Agustus 2009